Bagi kebanyakan orang, terlebih bagi pasangan muda di berbagai belahan dunia. Paris itu selalu punya cerita dari sisi romantis, atau bahkan menjadi agenda tempat yang harus dikunjungi baik untuk berlibur, pre wed atau bahkan honeymoon. Saya akui, ketika berada di kota cantik Paris inilah sisi romantis saya keluar juga, walaupun sudah lama hati kecil saya meminta Ya Allah bawa Ai ke Paris kalau udah punya suami aja deh. Tapi meski saat itu masih dalam status single, alhamdulillah beruntung banget pergi Paris-nya bersama keluarga, jadi tidak perlu galau ya Ai! 😛
Dan malam pertama di kota Paris pun di mulai… Malam itu saya menikmati perjalanan romantis bersama adik sepupuku yang biasa disapa Kakak Nabilla. Persamaan diantara kami, sama-sama anak pertama dan mempunyai dua adik laki-laki, jarak adik pertama sama 5 tahun, jarak adik kedua jauh, punya adik bungsu saat kelas 1 SMP, serta pecinta Harry Potter. Perbedaan diantara kami, ia tinggi sekali, saya engga. Jadi kesannya kayak saya yang adiknya 😀

Dari hotel Rodisson, yang jaraknya dekat dengan Arch de triomph, puncak menara Eiffel terlihat dari kamar tempat kami menginap. Tante mengusulkan, “Ai pergi keluar foto-foto dekat menara Eiffel, deket tuh dari hotel, terus sekalian foto-foto dekat arch de triomp berdua sama Kakak gantian fotonya, dari situ ke Eiffel”
Malam menunjukkan pukul setengah sepuluh waktu sana, kami berdua semangat keluar kamar mau foto-foto karena dikira dekat, kakak changed plan jadi ke Eiffel dulu baru nantinya ke Arch de triomph. Dan kami juga disarankan tidak usah bawa tas, sebentar saja keluarnya gak perlu bawa tas, alhasil kami berdua nyantai bermodalkan kamera dan hp masing-masing.
Kami berdua excited banget, jalan cepat-cepat sambil nyari-nyari jalan ini menara sebelah mana ya? Kok dari hotel kayaknya dekat, awalnya berusaha ngafalin jalan, dan sampailah kami ke tempat yang spotmya ok banget untuk ambil foto, di atas jembatan disuguhi kerlipan cahaya lampu dari menara Eiffel yang indah sekali, hanya satu kata: romantis. Jalan jauh-jauh dari kamar hotel terbayarlah dengan view yang ok dan keren sekali. Beruntung kami pas banget kebagian cayaha lampu yang berkilau-kilau dimana hal tersebut di malam hari hanya setiap beberapa jam menyala, waaah puas menikmati dan foto-foto kami cepat bergegas pulang. Dari jembatan kami terus menyebrang menggunakan jalan lain, harusnya tidak menyebrang melainkan menggunakan jalan yang sama lagi.
Berbekal maps di iphone Kakak, saya percayakan pada arahan Kakak, hingga akhirnya sudah lama kami berjalan tapi kok berbeda dengan jalan yang tadi kami lalui, complicated-nya hampir semua bangunan sama, dan akhirnya Kakak bilang “teh, kayaknya kita nyasar deh” mendengar kalimat tersebut, lemas rasanya. Kakak masih tenang, “teh bawa uang ga?” “Engga kak” cuma bawa kunci kamar *lemes* Ditambah hp saya mati, jadi gak bisa bbm ngabarin Om 😥 😥 *lengkap sudah* Akhirnya Kakak telpon Om, saya masih ingat kalimat pertama yang diucapkan Kakak pada saat telpon “Papa, nyasar hiks *sambil nangis*” duh saya cuma bisa nelen ludah antara capek dan sedih malam-malam untuk pertama kalinya dalam hidup tersesat di negeri antah berantah di the light of city alias kota cahaya bernama Paris bersama anak gadis putrinya Om saya huwaa 😥 . Tidak lama kemudian Kakak menyerahkan handphone-nya “Teh, Papa mau ngomong” kemudian saya terima telpon dari Om, beliau menyarankan saya untuk bertanya saja kalau memang tidak tahu tepatnya sekarang ada dimana, sambil menenangkan kami untuk tidak usah takut. Selebihnya Kakak hanya berkomunikasi lewat bbm dengan Om.
Karena malam-malam saya memang gak mau nanya-nanya kepada orang-orang yang belum saya kenal, tapi karena kepepet dan atas saran Om, akhirnya saya beranikan diri bertanya. Dari sekeliling tempat tersebut, yang saya inget kayaknya tadi lewat toko buah itu, jadilah saya bertanya, pak tau alamat yang tertera dalam kamar hotel gak? Tau arch de triomph dari sini masih jauh apa sudah dekat? Sayang bapak penjual buah di toko tersebut tidak tau alamat hotel saya, namun bapak tersebut menyarankan saya tanya ke hotel saja. Dari tempat tersebut kami berdua jalan lagi, udah sepii banget, akhirnya nemu hotel juga, tapi sepi, awalnya ragu, tapi kepepet, لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِىِّ الْعَظِیْم aja, saya pun masuk. Di dalam ada seorang pria yang sedang berjaga, sebelumnya saya minta maaf, bahwa saya kesana hanya mau tanya saja, sambil nunjukkin alamat hotel, petugas tersebut sibuk depan komputer mencari di google maps, dan alhamdulillah ketemulah alamat hotel, pria baik hati tersebut kemudian ngeprint satu lembar peta dan memberi tahu posisi kami sekarang berada dimana, serta jalan yang harus kami tempuh untuk sampai di hotel, untuk lebih detailnya ia menyarankan saya bertanya lagi saja sama orang-orang. Kemudian saya tanya, kira-kira kalau jalan kaki berapa menit? Ia menjawab sekitar 40-45 menit (dalam hati 40 menit versi jalan cepet orang bule dengan 40 menitan ala saya pasti beda, karena jalan saya belum tentu secepat mereka dikondisi malam dan sudah lelah, habis perjalanan dari London ke Paris, belum sempet istirahat, eh malamnya punya pengalaman indah lost in Paris) super wow sekali :’). Dan dengan berat hati saya pun menjelaskan kepada Kakak, ia sudah nampak lelah dan cape, tapi saya tak bisa menolong untuk menggendongnya, sebab ia sudah lebih besar dari saya. Maaf ya sayang teteh gak bisa gendongin Kakak yang udah kecapean. Terakhir saya bertanya namanya, terima kasih banyak Mr. Sebastian yang baik hati atas bantuannya, semoga Tuhan membalas kabaikan hati Anda dengan kebaikan berlipat ganda Aamiin YRA. Berbekal peta tersebut saya akan pulang bersama kak Nabilla, meski gak tahu, tapi yakin sama insting dan yakin Allah pasti akan menolong, kemudian patokannya nyari nama-nama jalan yang ada di petunjuk peta, nyebrang jembatan, lurus , belok kanan (dalam hati duh kok gak nyampe-nyampe padahal di peta kayaknya deket) tapi saya gak boleh lemas, harus kuat sebab adik saya sudah kelelahan, untungnya ia kuat mau jalan juga, kami berdua bekerjasama cari dan temukan nama jalan dan akhirnya setelah menyebrang sungai sampailah di pusat kota yang ramai lagi di kawasan champs Elysee, beruntung Om ternyata menjemput kami berdua mendekati hotel, sehingga kami bisa tenang dan bahagia ternyata jalan kami benar, akhirnya bisa kembali ke hotel dengan selamat. Alhamdulillah terima kasih ya Allah. Tanpa peta pasti di tangan, kami tak akan tahu arah pulang. Terima kasih ya Allah, dalam pekat malam yang menyelimuti kami berdua di negeri asing dan kota romantis Paris yang baru pertama kali kami kunjungi, Engkau kirimkan orang untuk menolong kami menunjukkan arah pulang ke hotel. Sekitar pukul 23.00 lebih kami tiba di kamar.
Pengalaman ajaib tersebut memberikan pelajaran: kenali tempat, minimal inget atau catet tempat yang kita lewati. Saya biasanya sekali hafal, tapi baru sadar di Paris itu hampir semua bangunan sama (menurut info dari mas Rama, memang sudah ketentuan dalam membuat bangunan di wilayah tersebut tidak boleh tinggi dengan warna senada, terserah dalamnya mau di design seperti apa, yang penting model bangunan dan warna sama, kalau saya perhatikan rata-rata bangunan di pusat kota tersebut sekitar 6 lantai, beda kayak di Hongkong yang kebanyakan gedung pencakar langit, disana setelah keluar dari pusat kota barulah ada dan diperbolehkan gedung pencakar langit). Nah bingung kan kalau kita belum terbiasa. Kalau kondisinya siang sih lebih mudah mencari jalan, kalau kondisinya malam saya pribadi kesulitan mengenali jalan. Kalau sudah mentok, untuk cari info, tanya saja ke hotel, ternyata mereka mau membantu juga dengan baik, saya aja tidak menyangka Mr. Sebastian tanpa diminta ngeprint peta lokasi. Terakhir, setelah usaha pol, dan kepepet tidak bawa uang seperti saya, semua barang di hotel, jalan satu-satunya banyak berdoa dan beristighfar, pasti Allah akan menolong, selalu. Terima kasih ya Allah, Engkau telah melindungi saya dan adik saya, hingga kami bisa kembali dengan selamat, Alhamdulillaah 🙂
Berikut ini moment yang diabadikan, sebelum hp saya habis baterenya, sebelum kami lost in Paris:

With Love,