[Review Buku Travel Writing ]: Titik Nol karya Agustinus Wibowo

Sinopsis:

Perjalananku bukan perjalananmu

Perjalananku adalah perjalananmu

TITIK NOL “Makna Sebuah Perjalanan”

Jauh. Mengapa setiap orang terobsesi oleh kata itu? Marco Polo melintasi perjalanan panjang dari Venesia hingga negeri Mongol. Para pengelana lautan mengarungi samudra luas. Para pendaki menyabung nyawa menaklukkan puncak.

Juga terpukau pesona kata “jauh”, si musafir menceburkan diri dalam sebuah perjalanan akbar keliling dunia. Menyelundup ke tanah terlarang di Himalaya, mendiami Kashmir yang misterius, hingga menjadi saksi kemelut perang dan pembantaian. Dimulai dari sebuah mimpi, ini adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.

Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan.

“Agustinus telah menarik cakrawala yang jauh pada penulisan perjalanan (travel writing) di Indonesia. Penulisan yang dalam, pengalaman yang luar biasa, membuat tulisan ini seperti buku kehidupan. Titik Nol merupakan cara bertutur yang benar-benar baru dalam travel writing di negeri ini.”  –Qaris Tajudin, editor Tempo dan penulis novel.

Catatan perjalanannya tidak banyak menekankan pada petualangan pribadi atau beragam keberhasilan yang dicapainya, melainkan berisi orang-orang yang ditemuinya sepanjang perjalanannya. Tulisan-tulisannya lebih memberi penghormatan pada kenangan-kenangan tentang mereka yang telah menyentuh, memperkaya, mencerahkan hidupnya. Merekalah yang menjadi alasan kenapa Agustinus bisa lolos dari zona perang tanpa terluka sedikit pun, melewati wilayah-wilayah sulit dengan mudah, dan melakukan perjalanan panjang dengan dana amat terbatas.  Nilai perjalanan tidak terletak pada jarak yang ditempuh seseorang, bukan tentang seberapa jauhnya perjalanan, tapi lebih tentang seberapa dalamnya seseorang bisa terkoneksi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan. —Lam Li 

Saya suka dengan cover buku Titik Nol. Biru cerah dengan anak melompat dari pohon. Bebas. Berani. Nekat.  Buku travel writing yang ditulis dari sisi seorang jurnalis ini begitu runut, seakan tak pernah kehabisan kata untuk mengisahkan perjalanannya yang tertuang dalam 552 halaman.  Dalam buku ini dibuka dengan tulisan dari sahabatnya Lam Li berjudul memberi arti pada perjalanan.  Kemudian dilanjutkan dengan penantian, safarnama, senandung pengembara, surga Himalaya, kitab tanpa aksara, mengejar batas cakrawala, dalam nama Tuhan, di balik selimut debu, pulang, dan akhir sebuah jalan.   Mengisahkan perjalanan di berbagai negara dari sudut pandang berbeda, yang selama ini tidak banyak diangkat ke media .  Tanpa membaca buku -buku Agustinus : Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol, saya tidak akan pernah tahu tentang keadaan yang sebenarnya negara-negara Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Selatan, negara-negara yang dikunjungi penulisnya.  Buku travel writing yang menyuguhkan hal berbeda, pengalaman berbeda, sudut pandang yang berbeda, bahkan pemaknaan yang berbeda tentang arti sebuah perjalanan.  Tak hanya lewat tulisan, foto-foto yang disajikan dalam buku, seakan berbicara tentang orang-orang, keadaan bahkan suasana yang ditemui oleh Agustinus.  Di setiap lembar fotonya, membuat hati ini teriris seolah bisa menyaksikan langsung keadaan mereka.  Tapi sekaligus di satu sisi merasa bersyukur dengan kehidupan saya dan di sisi lain bisa berempati seolah merasakan derita yang mereka alami. Terima kasih Agustinus, untuk ketiga bukunya yang sangat bergizi , tulisan yang indah,  kaya akan pengalaman , dan menurut saya buku ini sebaiknya dibaca oleh orang dewasa.  Yang menarik dan keren dari buku ini, sang penulis memiliki kamus kata yang sangat kaya. Ia benar-benar menggunakan pilihan kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang ia lihat dan rasakan. Penulis juga memiliki ribuan analogi yang menggambarkan keadaan yang ada. Sebagai pembaca, saya jadi bisa merasakan sendiri kejadian yang dialami oleh penulis. Bahagia adalah senyum. Sedih adalah tangis. Takut adalah khawatir.

Baca juga: SELIMUT DEBU karya Agustinus Wibowo 

Agustinus Wibowo adalah seorang pria Lumajang yang semenjak kecil sudah ditantang oleh ayahnya untuk melihat dunia. Petualangannya dimulai ketika ia berhasil diterima di perguruan tinggi terbaik di tanah leluhurnya, Tiongkok. Usai meraih gelar S1-nya di Universitas terbaik di Beijing yaitu Universitas Tsinghua.  Lulus dengan predikat terbaik, dan ditawari beasiswa S2, namun Agustinus muda justru bermimpi melakukan perjalanan darat dari Beijing hingga Tanjung Harapan di Afrika Selatan.  Petualangan Agustinus dimulai saat ia menembus Tibet secara ilegal dengan hanya bermodalkan wajahnya yang mirip penduduk setempat. Ia sukses berziarah mengelilingi Gunung suci Kailash. Memasuki pegunungan Himalaya, dia justru terkatung-katung di Nepal lantaran dompetnya dicuri, menjadi pengembara kere. Pindah ke India, Agustinus harus membuyarkan imajinasinya tentang negeri tarian ala film Bollywood. Satu tujuan mulia yang akhirnya terlaksana, dia menjadi relawan gempa di lembah Kashmir yang mempesona. Di Pakistan dan Afganistan, Agustinus menjadi saksi mata atas konflik agama dan perang berkecamuk yang tiada henti.

Baca juga: Jelajah Rusia dengan Trans Siberia

Buku ini menceritakan dengan lengkap suka duka sebuah perjalanan. Agustinus bukanlah turis yang hanya melihat indahnya suatu negeri, foto-foto, lalu pergi. Agustinus melebur di dalamnya, mengenal negeri itu, tinggal di rumah-rumah penduduk, memahami dan merasakan dilema sosial di sana.  Kita akan dibuai fakta betapa kerennya sebuah perjalanan keliling dunia. Lalu, kita harus disuguhi kenyataan betapa bahayanya traveling di negeri orang. Mulai dari penjambretan, wabah penyakit, perlakuan tak menyenangkan, serta ancaman kematian. Semua itu sudah dialami sendiri oleh si penulis.  Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si petualang pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Ia kembali ke titik nol awal perjalanannya. Tapi justru di sini, dari ibunya, dia menemukan semua makna perjalanan yang selama ini terabaikan.  Dalam buku Titik Nol, penulis yang juga pengembara, mengalami perjalanan yang penuh dengan bahaya, dirampok, sakit keras di negeri orang. Bahkan pertemuannya dengan Lam Li, telah banyak mengubah hidupnya.  Di buku ini, porsi tentang teman, sekaligus sahabat, kakak, Ibu dan juga guru bernama Lam Li, ini cukup banyak.

Baca juga: GARIS BATAS: Perjalanan di negeri-negeri Asia Tengah karya Agustinus Wibowo

Dibedakan dari tulisan tegak yang mengisahkan perjalanan demi perjalanan dan tulisan bercetak miring mengisahkan perjalanan keluarga khususnya Mama, pembaca seakan melihat penulis dari dua sisi. Sebagai seorang pejalan yang mencari arti hidup, berpetualang dengan gagah berani dan sekaligus kita melihat penulis yang ternyata adalah manusia biasa. Tak lepas dari kecemasan, ketakutan, kesedihan.

Membaca Titik Nol, saya merasa ikut didongengi, diceritakan pengalaman dan keadaan serta penduduk di setiap tempat yang dikunjungi oleh Agustinus, sebagaimana bab demi bab ia menceritakan kisah Safarnama kepada sang Mama.  Membaca Titik Nol adalah suatu pengalaman berharga, menelusuri negeri yang mungkin tidak akan pernah saya pijak, terutama untuk negara-negara yang hingga kini masi dilanda konflik.  Setiap kisah, perjalanan, penantian, perjuangan, pengharapan dan kekuatan, tentu ada batas akhirnya. Dan selama masih ada waktu yang diberikan sang Pencipta, mari bersama kita buat kisah hidup kita berarti.

Baca juga : The Journey to Andalusia dan The Journey to  Greatest of Ottoman 

Judul Buku           : TITIK NOL
Penulis                  : Agustinus Wibowo
Penerbit                : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit        : 18 Februari 2013.  Cetakan kedelapan, Oktober 2017
Jumlah Halaman : 552 Halaman

Kalimat-kalimat favorit saya dan menyentuh dalam buku Titik Nol:

  1. Sepuluh tahun!  Sepuluh tahun penuh telah kuhabiskan di jalanan negeri-negeri, dari gunung-gunung Atap Dunia, gurun pasir gersang tak terbatas, medan perang, kota-kota kuno, ribuan meter telah kulewati, berbagai kisah hidup telah kujalani.  Aku datang dengan segala panji-panji kebanggaan, kisah-kisah tinggi, bicara selusin bahasa.  (halaman 4)
  2. Namun bagiku, ujian pertama dalam perjalanan adalah pembuktian  kesabaran.  (halaman 18)
  3. Di sini cukup aku memakai songkok lalu menyebut diriku sebagai Indonesia, semua orang sudah percaya, sementara di negeriku sendiri identitas itu selalu dipertanyakan. (halaman 25)
  4. “….Justru karena masih ada mimpi, kita jadi punya alasan untuk terus hidup, terus maju, terus berjalan, terus mengejar.  Tanpa mimpi sama sekali, apa pula arrti hidup ini?”  (halaman 65)
  5. “….Lihat saja, waktu aku genap berumur satu tahun, aku di tempatkan di tengah tempayan yang berisi…… Yang kupilih ternyata adalah sebuah kitab setebal 989 halaman berjudul Kamus Besar Bahasa Indonesia.  (halaman 65) <– keren banget! pantesan tulisannya bagus 😀
  6. Dalam tujuh belas tahun pertama hidupku, memang aku tak pernah lepas dari buku.  Tas yang kubawa ke sekolah sejak SD selalu adalah yang paling berat, minimal berisi Atlas Dunia, Buku Pintar, Kamus. (halaman 66) <— salut!
  7. Mengintip dunia, hanya itu yang kubisa.  Buat aku yang tinggal di desa, bahkan naik pesawat pun adalah mimpi yang terlalu muluk.  Lagi pula, mereka bilang, dunia luar itu muram dan seram, bahaya selalu mengincar………… Tapi aku ingin melihat dunia.  (halaman 66)
  8. Sebuah buku yang selalu kukenang berjudul “Ikut Sang Surya Keliling Dunia,” kupinjam dari perpustakaan sekolah berisi kumpulan dongeng dari negeri-negeri dan bangsa-bangsa dunia, mulai dari Amerika, Eropa, Afrika, Asia. (halaman 70)
  9. Kerja keras, kerja keras, cuma kerja keras.  Leluhur bilang, hanya dengan kerja kerasnasib akan berubah.  Mereka punya peribahasa, “beribu kentara berlaksa kuda menyeberangi jembatan kayu,” melukiskan betapa kejam dan ketatnya perjuangan untuk mengubah nasib.  (halaman 76)
  10. Aku mau menulis tentang kisah hidup manusia yang seringkali dilupakan, kisah hidup di tempat terpencil, kisah tentang kemanusiaan!  Izinkanah ankmu ini keliling dunia.  (halaman 86)
  11. …… “Tapi itu pula yang menjadikan Indonesia sebagai traveler’s gem, permata yang penuh kejutan bagi para musafir.  Surga eksklusif.  Aku tidak bisa membayangkan alam pulau-pulau kecil Indonesia yang rapuh itu kalau terkena serbuan turisma massal.” kata Jorg. (halama 179)
  12. Dalam dunia per-backpacker-an selalu beredar diskusi tak habis-habis tentang pakah kita ini sebenarnya turis atau travler.   Katanya, turis itu pasti menginap di hotel mahal, sedangkan traveler di rumah penduduk lokal.  Turis bawa koper, traveler bawa ransel.  Turis naik pesawat, traveler jalan darat.  Turis ikut tur terima jadi, traveler bertualang sendiri.   Turis suka manja, traveler doyan derita.  Turis banyak duit, traveler pada pelit.  Turis bawa buku panduan, traveler mengintil angin.  Turis selalu bilang I am traveler, si traveler bilang, Who cares?  Turis adalah traveler amatir, traveler itu turis profesional.  Turis selalu berdebat beda antara turis dan traveler, sementara di traveler cuma tertawa.  Begawan traveler (atau turis) Paul Theroux bilang, turis tak ingat tempat mana yang sudah dikunjungi, traveler malah tak tahu ke mana mau pergi.  Daftar ini tak akan ada habis-habisnya, tapi yang jelas: tourist is always the other guy. (halaman 233)
  13. Ruang kosong, perhentian dalam perjalanan adalah saatnya untuk memberi arti baru terhadap makna perjalanan itu sendiri.  Di zaman sekarang, manusia melangkah lebih cepat, menjelajah lebih jauh, melihat lebih banyak, mengenal lebih luas, bermimpi lebih tinggi lagi, tapi impresi justru sebenarnya semaiin tipis, rasa pun lebih cepat memudar.  Orang bilang, kenikmatan perjalanan berbanding terbalik dengan kecepatan berjalan.  Pemandangan terindah justru terlihat ketika melambatkan langkah, berhenti sejenak.  (halaman 315)
  14. Mehman.  Tamu.  Itu adalah kata keramat di negeri yang menjunjung keramahtamahan ini.  Orang Pakistan tak pernah bermain dengan kata-kata itu.  Mehman, menyiratkan pernghormatan luar biasa pada musafir, kemurahan hati sebagai bagian dari ibadah, ketulusan untuk menolong sesama.  Mereka membuka pintu untuk setiap musafir yang melintas.  Mereka berkorban untuk para tamu, tanpa menghitung untung-rugi, atau mengharap si tamu bawa manfaat apa pun.  Bagi mereka, tak peduli apakah hari ini perut terisi, yang pentng tamu harus terlebih dahulu dikenyangkan.  Menggigil kedinginan bukan masalah, asal tamu tetap hangat dan lelap.  (halaman 322)
  15. Jarak dan waktu memang sempat menjadikan hubungan ibu dan anak ini seperti tuan rumah dan tamu yang saling dipenuhi rasa sungkan. Tapi penyakit ini telah mengubah kami, yang kini tak segan mengucap kata ‘cinta’, berbagi ciuman dan belaian sayang. Penyakit ini membuatku menemukan Mama, mengalami keluarga, memberi makna baru pada rumah. Perjumpaan dan perpisahan, kegembiraan dan penderitaan, semua adalah anugerah. (halaman 334)
  16. Itulah realita seorang pengembara, hadir sesaat, sabar mendengarkan kisah, seolah untuk berbai derita, lalu pergi menghilang tanpa jejak seperti angin berembus.  (halaman 338)
  17. Kita datang bukan demi kebanggaan.  Kita tanggalkan panji-panji itu di rumah: agama, suku bangsa, negara, ideologi, dan segala macam identitas. Kita hanya dipersatukan oleh semangat kemanusiaan yang sama.  Menjadi relawan di daerah bencana adalah pengalaman yang paling berharga, seketika mengubah pandanganku akan hidup.  Ini menyadarkanku bahwa hidup manusia itu begitu rapuhnya.  Semua kebanggan itu, kekuasaaan dan kekayaan,itu, semua identitas dan topeng-topeng itu, bisa direngut habis dari genggaman kita, namun manusia yang lemah dihadapan kuasa semesta, hanya dalam sekejap mata.  Memang butuh kekuatan luar biasa untuk bertahan dalam lingkungan seperti ini.  Tapi lebih luar biasa lagi para korban yang gigih berjuang.  (halaman 348)
  18. Sudut pandang itu relatif.  Perjalanan itu bukan untuk bicara benar salah, bukan untuk mengubah dunia.  Perjalanan menembus zona bukan untuk memaksakan sudut pandang kita pada mereka, ataupun menelan mentah-mentah semua sudut pandang mereka.  Perjalanan adalah belajar untuk melihat dari berbagai sudut pandang, memahami sudut pandang, dengan menjadikan mereka orang-orang biasa dalam kehidupan biasa , sebagai tokoh utama kisah.  (halaman 439)
  19. Pramoedya pernah berkata, hidup ini bukan pasar malam. Di tengah pesta kehidupan, kita tidak berbondong-bondong datang. Satu per satu kita datang, satu per satu kita berjalan dan menjelajah, satu per satu kita menciptakan kisah kita masing-masing, hingga tiba saatnya nanti satu per satu kita mengakhiri jalan ini-pulang. (halamana 526)
  20. Perjalananku bukan perjalananmu, tapi perjalananku adalah perjalananmu.  Masing-masing kita punya kisah Safarnama sendiri-sendiri, tapi hakikat semua Safarnama itu adalah sama.  Perjalanan adalah cara melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri.  Pulang memang adalah jalan yang harus dilalui semua pejalan.  Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali.  Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.  Perjalanan, oh perjalanan…. siapa yang benar-benar tahu kemana kaki ini akan melangkah?  Aku pulang.  Inilah Safarnama.  Inilah perjalanan.  Inilah hidup.  C’est la vie (halama 530)

Agustinus Wibowo, Instagram: @avgustin88 atau http://www.facebook.com/avgustin88

Recommended book.  Happy reading! 🙂

With Love,

14 thoughts on “[Review Buku Travel Writing ]: Titik Nol karya Agustinus Wibowo

  1. Nice review Mbak. Btw, saya baru “melahap” 100an halaman pertama buku Titik Nol satu bulan yang lalu dan belum saya selesaikan sampai sekarang. Hehe. Membaca Titik Nol seolah tidak ingin segera beranjak dari tiap halamannya.
    Dari titik nol kita berangkat dan kepada titik nol kita kembali 🙂

    Liked by 1 person

    1. Terima kasih Kak 😊
      Wah, ayo lanjutkan sampai selesai.
      Kalau saya justru ingin segera selesai baca, karena bukunya bagus. Padahal sebetulnya saya sudah beli 7 bulan yg lalu, tapi baru baca hehe

      Like

      1. Hehe Iya, kalau kurang bagus biasanya pakai jurus itu 😅
        Tapi kalau bukunya bagus, bacanya cepat, cuma karena ada byk buku lain yg belum dibaca terpaksalah buku ini mendapatkan antrian panjang sampai berbulan-bulan 😆
        Tapi buku ini keren Kak. 👍 Sudah baca buku sebelumnya, Selimut Debu dan Garis Batas Kak?

        Liked by 1 person

      2. Hahaha…belum kak. Saya baca buku Titik Nol ini aja setelah lihat videonya Bung Fiersa Besar yang mana dia membacakan kata-kata “indah” dalam buku Titik Nol. Dan saat itu pula baru tahu kalau mas Agustinus Wibowo punya karya lain, Selimut Debu dan Garis Batas.

        Liked by 1 person

      3. Mantaaaap Kak, ketiga buku Agustinus Wibowo ini, menurut saya bagus. Semoga menyempatkan waktunya untuk membaca ketiga bukunya. Selamat membaca Kak 😊

        Like

    1. Alhamdulillah, akhirnya setelah antrian yang kesekian dibaca juga 😂

      Sudah Kak, sudah nonton film nya juga. Suka. Buat yang lagi ngejar beasiswa S2 khususnya Netherland, buku ini rekomen 😁 intinya sih siapa saja yg suka baca, buku ini bagus, banyak info, serasa diajak mengeksplor Belanda
      Kak Wi sudah baca?

      Like

      1. Hahahah. Akhirnya selesai juga buku tebal itu dibaca. 😀

        Yah, ketinggalan deh saya. 😂 ini lagi baca novelnya. Trus ingat mba ai yg suka jalan2.
        Filmnya sy juga nontn. Pertama tayang malah di bioskop. Tapi agak garing. 😂 its ok lah masih ada belanda belandanya sebagai seting. 😀😀

        Liked by 1 person

      2. Iya Alhamdulillah 😁

        Selamat membaca Kak! Agak lama baca bukunya, gak secepat 99 Cahaya di langit Eropa 😂
        Tapi saya baca sampai selesai kok, endingnya gak ketebak!
        Saya nonton nya bukan di bioskop, tapi di youtube 😅
        Ya it’s ok yg penting ada setting negara Belanda, buat nambah pengetahuan

        Wah terima kasih sudah mengingat saya, saat baca buku, jadi enak diinget Kak Wi 😊

        Like

      3. Mantap kak Wi, lanjutkan bacanya! 😃

        Ahaha gpp kak, bebas. Yang penting saya paham maksudnya. Kalau mau ngomonginya secara khusus, bisa juga dipostingan review Negeri Van Oranje 😂 Saya baca buku tersebut tahun 2016.

        Like

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s