Sinopsis:
Di sini semua mahal. Yang murah cuma satu: nyawa manusia.”
Afghanistan. Nama negeri itu sudah bersinonim dengan perang tanpa henti, kemiskinan, maut, bom bunuh diri, kehancuran, perempuan tanpa wajah, dan ratapan pilu. Nama yang sudah begitu tidak asing, namun tetap menyimpan misteri yang mencekam. Pada setiap langkah di negeri ini, debu menyeruak ke rongga mulut, kerongkongan, lubang hidung, kelopak mata. Bulir-bulir debu yang hampa tanpa makna, tetapi menjadi saksi pertumpahan darah bangsa-bangsa, selama ribuan tahun. Aura petualangan berembus, dari gurun gersang, gunung salju, padang hijau, lembah kelam, langit biru, danau ajaib, hingga ke sungai yang menggelegak hebat. Semangat terpancar dari tatap mata lelaki berjenggot lebat dalam balutan serban, derap kaki kuda yang mengentak, gemercik teh, tawa riang para bocah, impian para pengungsi, peninggalan peradaban, hingga letupan bedil Kalashnikov.
Agustinus Wibowo menapaki berbagai penjuru negeri perang ini sendirian, untuk menyibak misteri prosesi kehidupan di tanah magis yang berabad-abad ditelantarkan, dijajah, dan dilupakan. Menyibak cadar negeri cantik nan memikat, Afghanistan.
***** [Agustinus] tak ingin hanya menjadi penonton isi dunia. Ia mau terlibat sepenuhnya dalam perjalanan itu. Ia tak sekadar melihat pemandangan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga mengenal budaya dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. —
Kompas Sebagian cerita dalam buku ini pernah dimuat di kolom …”Petualang” http://www.kompas.com
Dari ketiga buku Agustinus Wibowo, ini merupakan buku kedua yang saya baca. Sebelumnya saya baca Garis Batas, padahal Selimut Debu ini adalah buku pertama Agustinus Wibowo. Agustinus Wibowo tidak hanya traveling untuk mengunjungi tempat wisata terkenal di suatu negara, dia mengeksplor sekaligus menyelami kehidupan masyarakat di sana. Dalam buku ini lebih fokus membahas satu negara saja yaitu Afganistan. Berbeda dari buku Garis Batas, yang membahas beberapa negara yang berakhiran dengan Stan. Terus terang ini adalah buku pertama yang saya baca tentang traveling di Afganistan. Sebelumnya saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan negara tersebut, selain berita tentang peperangan. Lewat buku ini saya diajak untuk mengenal bagaimana kondisi negara tersebut , dan penulis pun memberikan info tidak hanya tentang keindahan alam yang bisa disaksikan. Tetapi lebih dari itu penulis menceritakan tentang fakta sosial, ekonomi, serta sejarah dari setiap tempat yang dikunjungi. Penulisnya memang pernah tinggal cukup lama di Afghanistan karena sempat kehabisan uang dan bekal perjalanan. Oleh karena itu, ia bekerja sebagai fotografer dan editor di salah satu kantor berita di sana. Dalam kurun waktu tersebut, penulis menjelajahi negeri Afghanistan. Ia berkelana mulai dari ibu kota, tepi timur, selatan, utara, barat, hingga jantung Afghanistan di tengah-tengah negeri (tapi paling menderita), serta Lembah Wakhan yang terabaikan. Ia mengunjungi semua lokasi penting di Afghanistan. Mulai dari Kabul: ibu kota yang gemerlap. Bamiyan: kota suci peninggalan Buddha. Kandahar: wilayah konflik markas Taliban. Wakhan: lembah terkucil yang mimpi hidup di Tajikistan. Serat: gerbang mengadu nasib ke Iran nan makmur. Lalu Provinsi Ghor: jantung negeri yang justru mustahil ditinggali. Juga masih banyak tempat-tempat lain yang dikunjunginya. Penulis pun berusaha mengenal setiap penghuni Afghanistan. Mulai dari penduduk Kabul, hingga pendukung Taliban, pejuang gerilya, tentara Amerika, juga para ekspatriat. Dia juga menyelami setiap suku di negeri miskin ini. Mulai dari Hazara yang berwatak keras dan sering memberontak. Pasthun, yang konserfatif dan patuh adat, basis Taliban. Ismaili di utara yang cenderung bebas dan pro komunis. Wakhi saudara orang-orang Chapursan di Pakistan.
Judul : SELIMUT DEBU
Penulis : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : September 2011. Cetakan kelima, Oktober 2017
Jumlah Halaman : 461 Halaman
Baca juga: Review buku Garis Batas Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah
Agustinus terus berpindah untuk membuka tabir Afghanistan. Meski ia tahu negeri ini tak pernah aman, penuh misteri dan berselimut debu. Mungkin bisa saja Taliban menculiknya di siang bolong. Bom pun meledak tanpa kenal waktu, tak pula memilih lokasi. Ia bisa mati sia-sia menginjak ranjau kapan pun. Ancaman itu pula yang dirasakan oleh setiap penghuni Afghanistan.
Baca juga : Review Buku Journey To Andalusia
Buku setebal 461 halaman ini menceritakan secara detail tentang sisi sosial, agama, sejarah, ekonomi, politik, dan pendidikan dari tempat-tempat yang disinggahinya. Salut , karena semua yang ditulisnya tanpa memihak ke salah satu golongan. Apa yang ia alami dan rasakan di lapangan, itu yang dituliskan di buku ini, baik kejadian menyenangkan maupun buruk. Kemudian dalam buku ini juga terdapat foto mengenai tempat-tempat yang dikunjungi, sehingga seolah saya menyaksikan keadaan mereka di sana melalui foto-foto yang diambil sendiri oleh Agustinus Wibowo selama perjalanannya menjelajahi Afghanistan. Foto-foto tersebut tentu sangat membantu saya untuk membayangkan kondisi orang, tempat, dan kebudayaan yang diceritakan. Buku ini juga dilengkapi dengan peta wilayah yang dikunjungi, serta rute perjalanan.
Baca juga : Review Buku Journey to the Greatest Ottoman
Kemanusiaan adalah anugerah Tuhan yang tersisa di sini, sementara banyak kebanggaan dan peradaban yang hancur oleh perang berkepanjangan. (Halaman 451)
Saya hanya seorang musafir, yang mensyukuri dan mengagumi keindahan peradaban. Saya bersiap melangkah menuju zaman berbeda, hanya dengan menginjakkan kaki di pintu gerbang
negeri seberang. Sementara negeri Afghan tetap merayap dalam dimensi zamannya sendiri. (Halaman 452)
Happy reading! 📖😊
With Love ❤️
Baca buku ini buat saya lebih bersyukur tinggal di Indonesia.
Awas ranjau ada di mana-mana. Hehehehe
LikeLiked by 1 person
Benar sekali Kak.
Buku ini menambah pengetahuan saya untuk mengetahui keadaan negara ini yang sebenarnya, lewat perjalanan seorang jurnalis yang traveling mengeksplor Afganistan. Salut dg kebeniannya yang menyingkap misteri negeri selimut debu. Sehingga bisa mengabadikan pengalamannya melalui tulisan di buku ini.
Nggak kebayang ranjau ada dimana-mana, bom bisa kapan saja meledak 😦
LikeLiked by 1 person
Sama ketiganya, titik nol, selimut debu dan garis batas, sama-sama dibawa ke dunia lain yang jarang orang tahu. Dunia traveling yang waw nya kebangetan. 😂👍
LikeLiked by 1 person
Setuju kak 😊👍
Membaca dan mengoleksi ketiga bukunya gak nyesel 😁
Tinggal satu buku lagi, Titik Nol yg belum saya baca. Udah beli dari beberapa bulan lalu, tapi masih saja belum dibaca, karena buku lain bermunculan 😂😂
LikeLiked by 1 person
Horor ya. Buku lain bermunculan. Hahahah. 😂😂
Its ok itu. Yang penting udah ada bukunya tinggal nunggu nasib baik aja utk dibaca. Heheheh. Sabar ya titik nol kamu masih ada dalam antrean. 😝
LikeLiked by 1 person
Hahaha, Iya kak horror ya 😝 banyak banget daftar buku yg belum dibaca. Lagi baca buku A, ada yg kasih referensi baca buku ini itu. Rencana habis selimut debu mau baca Titik nol, eh malah ada buku Aruna dan rasanya. Mana ini tentang kulineran, saya kan jadi menunda lagi, mohon bersabar ya buku Titik Nol, aku padamu lah, pasti kamu aku baca 😁
Dan baca buku itu, adalah prioritas yg kesekian, jadi lama bacanya. Eh kok curcol 😂
LikeLike
Hahahaha. Jadi ga sadar kalau ngomongin buku terakhir malah curcol. Buat list aja kalau gitu mba ai. 😂
LikeLiked by 1 person
waaah keren bukunyaaa. jadi pingin baca hehe
LikeLiked by 1 person
Iya kak, bukunya keren 👍
Semoga bisa menyempatkan untuk membaca 😊
LikeLike
Tulisan2nya Agustinus Wibowo keren banget ya!
LikeLiked by 1 person
Setuju mba, memang keren banget 😊
LikeLiked by 1 person
Iya, kayaknya harus buat list biar buku-buku yg diluan dibeli gak terlalu lama nunggu antrian 😁
LikeLike