[Review Buku] Titip Rindu ke Tanah Suci karya Aguk Irawan MN

Baik buruknya kita, kita sendiri yang tahu. jika semua orang di dunia ini menganggap kita sebagai orang yang buruk, asalkan Allah tak memandang demikian, kita tak perlu menggubris omongan orang. (halaman 167)

Judul                     : Titip Rindu ke Tanah Suci
Penulis                  : Aguk Irawan MN
Penerbit                : Republika Penerbit
Jumlah halaman : 374 halaman
Tahun Terbit        : Cetakan I, Desember 2017
ISBN                       : 978-602-082-287-7

Sinopsis:

“Mak masih ingat—“Mak Siti meneruskan,”—sepuluh tahun yang lalu, di hari Intan masuk SMP, mak berjanji pada diri mak sendiri untuk menabung. Mak tak pandai menabung, tak berani ke bank, tak tahu caranya. Waktu itu, emak memohon pada Gusti Allah supaya mak bisa memenuji panggilan-Nya. Berhaji. Naik haji, Ya Allah…”

***

Keinginan Mak Siti memang bukan sesuatu yang sederhana, bahkan cenderung luar biasa mengingat profesinya yang hanya berjualan nasi megono di stasiun saja. Pun statusnya sebagai janda beranak satu, membuat penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Namun, Emak tak pernah berputus asa.

Saat orang-orang tahu tentang mimpinya, tak pelak cibiran-cibiran datang dari segala arah kepada Mak Siti. Ditambah ujian yang menimpa pernikahan sang putri semata wayang, membuat energi serasa lenyap dari tubuh tuanya.

Rindunya pada tanah suci yang begitu besar, memang membuat Mak Siti tergerak untuk terus belajar mengaji dan mendekatkan diri pada-Nya. Namun, bila kemalangan bertubi-tubi menimpanya dan kini hidup anak dan cucunya juga ikut digunjingkan, apa yang harus dilakukan Mak Siti?

Baca juga: Tanaman hias kesayangan

Kisah Mak Siti dalam buku ini benar-benar sangat mengharukan. Kalau mau belajar hidup sederhana, tangguh dan juga sabar. Belajarlah pada Mak Siti yang tekun, beliau berprofesi penjual nasi megono. Menyibukkan diri dengan bekerja, berangkat pagi, pulang malam. Pada pagi hari, Mak Siti berjualan nasi megono, siangnya berjualan es hingga menjelang sore. Sebelum magrib Mak baru sampai di rumah. Itulah aktivitas yang dilakoninya setiap hari, berjualan di stasiun. Suaminya bekerja sebagai tukang sayur. Intan, anak semata wayangnya,  tidak bisa melanjutkan kuliah. Sehingga ia membantu ibunya berjualan nasi.

Suatu hari, suami Mak Siti alhamdulillah mulai rajin salat lagi. Suaminya memiliki rencana untuk menjual rumahnya di kampung, dan membeli rumah yang selama ini disewanya, sisa uangnya akan digunakan untuk menguliahkan Intan. Sayangnya rencana hanya tinggal rencana, suami Mak Siti saat pulang naik bus, busnya kecelakaan dan suaminya meninggal.

Beberapa waktu kemudian Mak Siti pulang kampung dan menjual tanahnya, kemudian membeli rumah yang selama ini disewanya. Hidup berdua bersama putri tercinta yang lebih memilih membantu Mak, ketimbang melanjutkan kuliah.

Baca juga: mengenal lebih dari 40 buku karya Tere Liye

Mak Siti sangat baik, waktunya tidak digunakan untuk sibuk bergunjing. Sayangnya, sebaik apa pun Mak Siti, tetangganya sering sekali menggunjing kehidupan Mak Siti, juga anaknya. Saya sedih sekali membaca kisah Mak Siti, seorang wanita tangguh yang hanya dijadikan bahan pembicaraan tetangga, padahal Mak Siti tidak bersalah. Sedih dengan keadaannya, sekaligus salut dengan impian Mak Siti yang ingin menjalankan ibadah haji. Hebatnya, Mak Siti memiliki impian besar ini, meskipun tampak mustahil (bagi para tetangga yang sirik dengan impian Mak Siti), tapi Mak Siti yakin dengan impiannya, juga mengandalkan dan percaya sama bahwa rezeki Allah yang mengatur. Selama 10 tahun, dari hasil jualan nasi megono. Sehari beliau menyisihkan tujuh hingga delapan ribu rupiah. Setelah dihitung, terkumpul uang sebanyak delapan puluh juta lebih. Bisa menjadi modal untuk keberangkatan hajinya.

Satu hal lagi yang membuat saya salut dari karakter Mak Siti, beliau ternyata tidak bisa ngaji. Namun berkat kemauan kerasnya, serta sebagai upaya persiapan untuk keberangkatan haji, Mak berusaha belajar ngaji mulai dari huruf hijaiyah hingga lancar baca Al-Quran. Masha Allah, inspiritif sekali tokoh Mak Siti ini. Awalnya, Mak diajari ngaji oleh Intan, namun karena tidak ada perkembangan yang signifikan Mak memberanikan diri untuk belajar ngaji pada Bu Haji. Namun Bu Haji tidak sanggup, maka atas saran Bu Haji dan Pak Haji, Mak dicarikan guru ngaji yang sangat bagus yaitu Rizal. Pemuda yang dulu pernah patah hati namun mampu bangkit kembali, juga pernah mabuk-mabukkan tapi dia bertobat.

Singkat cerita, Mak sudah bisa ngaji, juga bisa mendaftarkan diri untuk berangkat haji. Sayangnya, kisah tragis Mak tidak berhenti di situ. Mak beserta ribuan peserta haji lainnya telah ditipu oleh agen perjalanan. Mak Siti yang tegar, tabah dan kuat, jatuh sakit. Namun berkat kemurahan seorang pemuda yang baik hati yang rela mendanai keberangkatan Mak, maka Mak bisa berangkat Naik Haji. Siapakah pemuda itu? Bagaimana kisah Intan, anak Mak Siti, yang juga baik ini rumah tangganya bisa berakhir dikarenakan penghianatan suaminya? Ikuti kisah lengkapnya dalam buku Titip Rindu ke Tanah Suci.

Berhubung momen review bukunya lagi pas, Ibadah Haji tahun 2020 ini sangat berbeda dengan ibadah haji tahun-tahun sebelumnya. Ibadah Haji tahun 2020 di masa pandemi covid 19 ini sangat dibatasi sekali. Terkait pembatasan kuota haji 2020, berita selengkapnya silahkan klik ini    Selamat Hari Raya Idul Adha 1441 H. 🙂

Ini dia salah satu suasana Haji di masa pandemi covid 19 (sumber foto Ig @muslimtraveler). Selamat menanuaikan ibadah haji kepada 10.000 peserta haji terpilih.

Baca juga: review buku RINDU, buku genre sejarah tentang perjalanan haji di tahun 1930 karya Tere Liye

Silahkan subscribe channel YouTube saya

Yang Menarik dari buku ini:

  • Kisah Mak Siti yang sering dizalimi dan difitnah orang, menjadi daya tarik dari kisah di balik buku titip rindu ke tanah suci. Beliau sosok sederhana, pekerja keras, pantang menyerah, tabah, dan sabar. Tidak pernah membalas sedikit pun perlakuan jahat orang lain.
  • Kalau kamu suka baca buku fiksi dengan tokoh inspiratif, silahkan bisa baca buku ini. Buku yang bergizi, dan bisa meneladani kesederhaan hidup ala Mak Siti dengan impian besar yang digenggamnya, hingga impiannya bisa terwujud.
  • Dalam buku ini, tentu saja yang menjadi karakter favorit saya adalah Mak Siti 🙂

Karakter-karakter dalam buku ini: Mak Siti, Intan, Zulkarnain, Rizal, Ridho, Samuel, Rakhmat, Pak Haji, Bu Haji, Mak Maryam, Pak Harko, Pak Kardi, Bu Kardi, Mpok Halimah, Mbah Markonah, Mpok Jaitun, Mpok Mahmudah.

Pesan Moral dalam buku ini: Apa pun impian kamu, berjuanglah mewujudkannya, tidak perlu risau dengan apa yang dikatakan orang lain. Tuhan Maha Tahu apa yang kamu lalukan. Selama kamu yakin benar, tidak merugikan orang lain, teruslah berusaha sebaik-baiknya menjadi pribadi yang baik seperti yang dicontohkan Mak Siti. Teruslah bermimpi, dan berjuanglah menggapainya.

Berikut ini beberapa kalimat favorit saya dalam buku Titip Rindu ke Tanah Suci

  1. Dan betapa kecantikan itu melukai. Melukai hati dan jiwa sang pemilik wajah jelita. (halaman 35)
  2. Pesan almarhum Bapak: Hati-hati dengan para pemuda di sini—jangan terlalu dekat, tetapi jangan pula menjauhi. Jangan membuat salah paham. Bersahabat boleh, tetapi cinta jangan! (halaman 37)
  3. Alangkah indahnya cinta, tetapi alangkah pula anehnya. Cinta menyemaikan kebahagiaan pada diri yang merasakannya, sekaligus mencipratkan kebencian pada orang-orang yang hanya bisa mengharapkannya. Seperti pungguk merindukan bulan, maka benci mendadak hadir karena bulan di luar jangkauannya. (halaman 45)
  4. Terhadap masa lalu, suka maupun duka, sengsara maupun bahagia, cerita cinta maupun patahnya hati, meski tak mungkin mudah dilupakan , tetapi harus direlakan. (halaman 53)
  5. … tetapi cinta bukanlah semata karena indahnya rupi, lebih karena cantiknya budi. (halaman 53)
  6. Seadainya seseorang tahu akibat dari perbuatan buruk yang dilakukannya, bisa jadi itu akan mencegahnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Seringkali orang bertindak membabi buta, tak peduli akibat, sebab dia tidak tahu dan tidak menyadari akibat yang akan ia terima. Seseorang bisa menjadi baik atau jahat sebab ia memiliki kemampuan untuk memilih. Namun jiwa yang terlecut untuk meninggalkan keburukan, bisa jadi tak akan terbebas dari bekas-bekas keburukan di alam sekitarnya. (halaman 71)
  7. Namun fakta adalah sesuatu, sedangkan isu adalah sesuatu yang lain. Isu seringkali tak sesuai dengan fakta. Malah, sering terjadi pula bahwa justru isu  membelokkan fakta. (halaman 87)
  8. “Ndak ada salahnya bermimpi. Setiap orang ingin menjalankan ibadah suci.” (halaman 97)
  9. Jika untuk melakukan kebaikan harus selalu menimbang prasangka orang, maka menjadi serigala lebih baik daripada menjadi manusia. Serigala tak perlu menimbang apakah singa setuju serigala berburu dan mencabik-cabik daging buruannya, apalagi menunggu singa merebut hidangannya. Yang dilakukan serigala hanyalah fokus pada buruannya, mengejarnya, melumpuhkannya, lalu menikmati dagingnya. (halaman 127)
  10. Baik buruknya kita, kita sendiri yang tahu. jika semua orang di dunia ini menganggap kita sebagai orang yang buruk, asalkan Allah tak memandang demikian, kita tak perlu menggubris omongan orang. (halaman 167)
  11. Gusti Allah tak tidur. Dia selalu melihat kita. Dia akan menyayangi kita. Gusti Allah Mahabaik. Maha Mengerti. Maha Mengetahui. (halaman 175)
  12. Obat sakit memang tergantung jenis penyakitnya, tetapi jiwa orang yang sakit akan memburatkan semangat dan kebahagiaan bila orang-orang datang menjenguknya. (halaman 217)
  13. Memang benar apa yang dikatakan sebagian bijak: kebiasaan itu sulit diubah. Walau mulut telah berbusa-busa untuk mengingatkannya, walaupun peringatan-peringatan telah dibentangkan. Kebiasaan menyangkut watak, maka hanya jiwa yang terbuka pada cahaya-Nya sajalah, kebiasaan buruk bisa sirna. (halaman 219)
  14. Orang menjadi baik tidak hanya karena dari awal ia begitu, tetapi bisa pula karena sadar dari keburukannya hingga ia menjadi baik. (halaman 231)
  15. Ada orang yang senang, ada pula orang yang benci. Ada orang yang suka memuji-muji, ada pula orang yang suka mencaci maki. Di mana pun! Mencari temoat yang hanya diisi oleh orang-orang baik sangatlah mustahil, kecuali tempat itu adalah surge di sisi Allah Swt. (halaman 233)
  16. Sungguh, Demi Dia yang menggenggam jiwa-jiwa makhluk-Nya, rasa cinta dan kasih seorang istri kepada suaminya tak perlu dibahasakan melalui kata-kata indah dan mesra, namun bisa dilihat dari genggaman tangan terhadap suaminya. (halaman 235)
  17. … dan sebaik-baik orang adalah yang memperbaiki kesalahan dan kealfaannya. (halaman 235)
  18. Terpujilah Allah! Maha Besar Dia, Maha Hebat Dia! Mak Siti yang selalu dihina-hina sebagai ‘Bu Hajjah’ tak perlu melawan hinaan dengan hinaan pula, tak perlu mengugubrisnya. Mak Siti akan segera mewujudkan mimpinya. (halaman 245)
  19. Jarak kebahagiaan dan duka lara memang setipis kulit ari. Malah, terkadang dalam kebahagiaan ada duka lara, dan dalam kesedihan masih ada senyum bahagia. Bersama kebahagiaan, ada kesedihan dan duka,. Namun bersama kesulitan ada kemudahan. (halaman 297)
  20. “Hidup seringkali membawa derita, lalu berujung bahagia.” (halaman 350)
  21. “Titip rindu pada Allah di Tanah Suci, Mak. Rindu hati saya untuk bisa memenuhi panggilan-Nya juga, seperti Mak….” (halaman 351)

Happy reading! 😍

With Love, ❤️

 

 

SUBSCRIBE AISAIDLUV

SIMAK JUGA SERBA-SERBI BUKU ALA SAYA BERIKUT INI:

2 thoughts on “[Review Buku] Titip Rindu ke Tanah Suci karya Aguk Irawan MN

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s