Sebab, sekali lagi, setiap insan manusia diciptakan unik dan dilengkapi dengan potensi untuk berkontribusi bagi kebaikan masyarakat. Jika kita menggunakan waktu dan energi untuk saling menggali serta belajar dari potensi dan keunikan masing-masing, tanpa terobsesi pada “bungkus” sesama, betapa indahnya hal ini bagi masyarakat dan bangsa negara! (halaman 56)
Judul Buku : Terobsesi Bungkus, Lupa akan Isi
Penulis : Audrey Yu Jia Hui
Tahun Terbit : Cetakan pertama, Desember 2019
Penerbit : Bentang Pustaka
Jumlah Halaman : 192 halaman
ISBN : 978-602-291-658-1
Sinopsis:
Semua anak yang lahir di dunia butuh bimbingan, pengertian, dan dukungan dari orang-orang sekitar. Namun, apa yang akan terjadi jika seorang anak lahir dalam keadaan tidak biasa? Dalam hidup, kesengsaraanku akibat tumbuh kembang di Indonesia tak terkira banyaknya. Salah satunya karena aku terlahir “gifted”.
Saat masih kecil, tentu aku tidak sadar bahwa aku berbeda. Yang kusadari, semua orang takut pada pertanyaan dan pemikiranku. Mereka dengan sengaja mengabaikan pertanyaan dan pemikiranku. Mereka dengan sengaja mengabaikan pertanyaan demi pertanyaan, yang bagiku sangat penting. Anehnya, ketika aku memenangi berbagai penghargaan, mereka berbondong-bondong mendekat dan bersikap seolah yang paling dekat denganku.
Terobsesi bungkus sehingga lupa akan isi. Ya, perlakuan itulah yang selama ini kuterima dan kulihat terjadi pula pada lingkungan sekitarku. Maka, melalui catatan panjangku ini, aku ingin menunjukkan betapa berbahayanya sebuah persepsi yang memandang seseorang hanya dari kulit luarnya.
Kali ini, saya membaca buku kisah inspiratif kiriman Penerbit Bentang Pustaka dari Yogyakarta. Terima kasih Penerbit Bentang Pustaka :). Ada yang sudah tahu tentang Audrey? Seorang anak gifted yang kaya akan prestasi. Saya beberapa waktu lalu pernah satu kali membaca tentang Audrey, tapi belum benar-benar memperoleh sumber bacaan yang detail. Senang sekali lewat buku ini, saya membaca kisah Audrey, sehingga bisa mengenal sisi lain Audrey, bukan hanya pencapaian-pencapain luar biasa yang sudah diraihnya. Sisi lain, yang mungkin belum banyak diketahui orang (jika saja belum membaca buku ini). Tentang luka batin yang dialaminya saat masih kecil, akibat menerima perlakuan yang kurang menyenangkan. Sebagai seorang anak gifted, yang secara lingkungan kurang mendukung, dan ia merasa sendirian.
Jika kamu selama ini baru mengenal Audrey sebatas prestasi akademiknya yang gemilang, maka ada baiknya kamu membaca buku ini, sambil merenungkan diri, dan menanyakan pada diri sendiri “Apa yang akan kamu lakukan ketika kamu memiliki teman, atau mengenal seorang anak gifted? Haruskah kita anggap sombong atau kita rangkul? Yang mungkin saja, ketika ia bertanya kita tak mampu menjawabnya, akankah kita berterus terang bahwa kita belum tahu jawaban atas pertanyaan yang diajukannya? Ataukah kita mencap dia dengan pimikiran aneh-aneh, semisal menganggap dia sok, atau sombong? Buku ini menurut saya sebagai reminder diri, apakah selama ini kita melihat seseorang hanya dari isi atau bungkusnya saja? Jawabannya, ada di hati nurani kamu
Baca juga: review buku Rudy, kisah masa muda sang visioner
Yang menarik dari buku ini:
- Mengungkap kehidupan yang dialami oleh Audrey, sebagai anak gifted yang merasa di dunia ini sendirian. Walaupun tampaknya hidupnya dikelilingi orangtua, guru, teman sebaya, tidak ada seorang pun yang bisa diajaknya berbicara. Tidak ada seorang pun yang tertarik pada pemikirannya. “Saat itulah aku merasa sendirian bak yatim piatu di dunia ini. Saat itulah kecintaanku terhadap proses belajar dan ilmu pengetahuan muncul—jika aku ingin tahu jawaban atas segala pertanyaan, tanpa ada yang tertarik menanggapi, buku-buku tersebut adalah satu-satunya harapanku. Merekalah yang setia menemaniku, “berbicara padaku, membuka segala rahasia dunia ini”. (halaman 32).
- Saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang gifted, tetapi lewat buku ini dari kacamata Audrey sebagai seorang anak gifted, saya belajar dan diajak untuk menyelami bagaimana kondisi psikologisnya saat masih kecil. Ketika dia membutuhkan seseorang yang bisa diajak bicara sesuai dengan kebutuhannya sebagai anak gifted, tapi tidak ada. Bagaimana kesepiannya dia saat itu -_- Mungkin kalau saya atau kamu disekelilingnya bertemu dengan anak gifted, dengan membaca buku ini setidaknya kita akan tahu bagaimana harus memperlakukannya. Kalau pun tidak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakannya, tinggal jawab tidak bisa tapi ya jangan menjauhi atau mengeluarkan kata-kata yang akan melukai, hingga menimbulkan luka batin dan membuatnya kesepian. Sedih banget pas baca bagian ini: “Aku sendiri sudah tahu sejak usia 4 tahun bahwa jika ingin diperlakukan dengan baik oleh orang-orang dewasa di sekitar, aku harus pandai berpura-pura: berpura-pura ignoran, tak punya pemikiran, dan tak punya pertanyaan. Sebab, kepura-puraankulah yang mampu membeli kasih sayang orang-orang dewasa di sekitar. Satu-satunya sahabat yang mampu menerima dan mengasihiku apa adanya adalah buku”. (halaman 33) -___- …. Anehnya, pengalaman belajar dan bersekolahku di Indonesia sangatlah buruk. Tumbuh kembang dengan buku-buku serta pemikiran sendiri sebagai satu-satunya sahabat yang bisa diajak berbicara tentu sangat tidak sehat bagi seorang anak. Namun, inilah yang harus dilalui anak-anak gifted yang lahir di Indonesia. (halaman 33)
- Selain anak gifted, yang tak kalah sulit bagi Audrey, dia mengalami korban rasis -___- Lewat buku ini, kita juga diajak memahami kondisi seseorang yang dibedakan hanya karena masalah warna kulit dan ras. “Saat semua anak lain berdoa untuk mendapatkan mainan atau liburan, aku berdoa setiap hari agar wajahku tidak tampak seperti orang Cina. Sekali lagi, hal ini tidak mampu kudiskusikan dengan siapa pun sebab semua orang mengatakan berbicara tentang SARA (suku bangsa, ras, dan agama) itu tabu dan berbahaya”. (halaman 48)
- Dia tidak pernah dipaksa belajar oleh orantuanya, tapi dia sungguh-sungguh sangat suka belajar. Menurutnya, jawaban yang paling “popular” atau sering dikumandangkan: “Pastilah Anda sebagai orang tua memaksa Audrey untuk belajar dan Audrey sekarang stress karena sudah lama dipaksa belajar oleh orang tuanya!” Padahal, kenyataannya tidak pernah ada yang memaksaku belajar. Aku rajin belajar karena orang-orang yang mengelilingiku di Indonesia tidak mampu mengerti atau menjawab pertanyaanku. Alhasil, aku mencari jawaban atas pertanyaan tersebut dalam buku-buku pelajaran. (halaman 105)
- Jadi kalau pun Audrey merasa tidak nyaman berada di Tanah Air tercintanya, dengan membaca buku ini kita akan memahami apa yang dia alami, bagaimana dia diperlakukan hanya berdasarkan bungkus, bukan isi.
- Buku yang sangat inspiratif, dan bergizi. Kalau kamu suka buku bacaan kisah inspiratif, buku ini recomended!
Moral of the story: Buku ini mengingatkan saya bahwa sebagai manusia, jangan pernah melihat dan memperlakukan orang berdasarkan warna kulit, agama, suku bangsa, ras, budaya, dan sebagainya. Jangan melihat orang hanya dari bungkus, tapi lihat juga dari isinya. Yang terutama lihat seseorang dari isinya, karena isi tidak akan pernah mengelabui. Sementara bungkus yang oke, belum tentu isinya lebih oke, bisa jadi justru sebaliknya.
Baca juga: review buku I Am Malala
Tentang Audrey: dia berhasil menyelesaikan sekolah dasarnya hanya lima tahun, SMP 1 tahun, SMA 11 bulan—persis di usianya yang masih 13 tahun. Dia usia 10 tahun, skor TOEFL-nya sudah 573, yang memecahkan rekor MURI untuk skor TOEFL tertinggi di usia termuda. Saat usianya 11 tahun, ia telah hafal di luar kepala kamus Indonesia-Inggris yang tebalnya 650 halaman. Saat usia 12 tahun, Audrey sudah kelas tiga SMA. Setelah itu, tidak ada universitas di Indonesia yang bisa menerima mahasiswa baru yang umurnya baru 13 tahun. Akhirnya ia memutuskan pergi ke luar negeri, dan kuliah di University of Virginia—Amerika Serikat, mengambil jurusan fisika. Usai lulus kuliah Audrey berniat mendaftar jadi anggota TNI yang saat itu masih bernama ABRI. “Setelah lulus, saya ingin mendaftar di militer Indonesia (ABRI), yang belum dilakukan gadis Cina sebelumnya. Yang mengejutkan saya, saya menjadi beban cemoohan dan mendapat ancaman dari semua pihak (bahkan dari keluarga saya sendiri), setelah pelecehan ras yang tak ada habisnya, lanjutnya terkait ABRI. Karena gagal masuk jadi anggota TNI, Audrey memutuskan memilih S-3 di Paris, mengambil jurusan Fisika dan Bahasa. Pada tahun 2017, ia dinobatkan sebagai salah satu dari 71 ikon Prestasi Indonesia. Audrey lulus S-3 di usia kurang dari 25 tahun. Audrey kini mengajar bahasa Inggris untuk level tertinggi di Shanghai. Tak hanya mengajar, tapi juga disibukkan menyusun konsep penerapan pancasila yang baik.
Apa yang membuat Indonesia –tanah yang penuh potensi, sumber daya alam, keindahan, dan keragaman—mudah dipecah belah dan sulit untuk bersatu? Jawabannya, jika di[ikir-pikir sebetulnya cukup sederhana. Kebanyakan orang di Indonesia punya budaya lebih mementingkan “bungkus” daripada “isi” sesuatu. Yang dimaksud “bungkus” di sini adalah karakteristik seseorang yang kelihatan mudah diobservasi, seperti penampilan, gerak-gerik, dan gaya bicara. Sementara itu, yang dimaksud “isi” adalah hal-hal yang mendasar dalam diri orang tersebut tetapi tidak mudah diobservasi, seperti pemikiran, idealisme, motivasi hidup, latar belakang dan cara berpikir. (halaman 17)
Baca juga: review buku Dear Tomorrow, notes to my self
Berikut beberapa kalimat favorit saya dalam buku ini:
- Manusia, didorong oleh kehausan akan makna, kepenuhan, dan kekekalan, berusaha mencari jawaban melalui hati dan pikirannya, sambil mengasimilasi segala yang telah ia pelajari dari orang-orang di sekitar. Hasilnya adalah “bingkai” agama yang sebetulnya sama uniknya dengan manusia itu sendiri. (halaman 6)
- Kita perlu memupuk semangat kenegaraan, kebersamaan, dan persaudaraan. Tanpa semangat ini, negera kita akan mudah dipecah belah menjadi kubu-kubu yang penuh kepahitan satu sama lain. (halaman 8)
- Patriotisme sejati datang dari semangat kebersamaan dan persaudaraan antarsesama anggota masyarakat. (halaman 11)
- Aku juga memperhatikan , setidaknya berdasarkan pengalaman sosialku, kebanyakan orang Indonesia suka gosip. Di negara lain yang pernah kukunjungi sedikit sekali yang tertarik pada urusan pribadi orang lain, sedangkan di Indonesia justru hal ini yang paling menarik dan cenderung menjadi buah bibir. Mulai dari gaya hidup seseorang sampai kisah asmaranya, semua itu adalah topik hangat untuk didiskusikan dan diobrolkan. (halaman 18)
- Jangan sampai kita terobsesi pada kesempurnaan “bungkus” yang tidak penting sehingga lupa akan “isi” yang lebih perlu dikembangkan, yang mengandung jauh lebih banyak benih kebaikan. Jangan sampai kita lupa bahwa obsesi terhadap “bungkus” itulah yang membuat kita lebih memperhatikan perbedaan dan keburukan dalam diri sesama dan lantas melupakan semangat persaudaraan dan potensi kebaikan dalam diri seluruh makhluk hidup. (halaman 23)
- Di Indonesia, orang yang mengaku “gifted” atau genius masih dianggap sombong atau sok pamer sehingga akhirnya layanan pendidikan dan bimbingan untuk anak-anak gifted hampir tidak ada. Masalahnya, karakteristik “gifted” bukanlah sesuatu yang superior untuk dipamerkan. Hal ini adalah kondisi yang harus dipahami supaya lembaga pendidikan dan para orang tua tahu bagaimana harus membimbing tunas bangsa yang terlahir dengan karakteristik tersebut. (halaman 28)
- Aku merasa sangat kagum akan keharmonisan dan kesatuan kelima sila Pancasila. (halaman 41)
- Bukankah ini sangat mirip dengan proses jatuh cinta? Mulanya kita hanya mampu mengagumi si A dari jauh, kemudian perlahan-lahan kita mengenalnya. Perlahan-lahan kita mengenal seluk beluk, keunikan, dan rahasia si A, sampai akhirnya kita betul-betul bersatu dengannya. namun, meski kemudian telah merasa betul-betul mengenal dia, pasti kita masih sering terkejut oleh keunikan atau hal baru dari kepribadiannya. (halaman 52)
- Sebab, sekali lagi, setiap insan manusia diciptakan unik dan dilengkapi dengan potensi untuk berkontribusi bagi kebaikan masyarakat. Jika kita menggunakan waktu dan energi untuk saling menggali serta belajar dari potensi dan keunikan masing-masing, tanpa terobsesi pada “bungkus” sesama, betapa indahnya hal ini bagi masyarakat dan bangsa negara! (halaman 56)
- Aku betul-betul berharap, di masa depan, Indonesia mampu berubah menjadi negara yang lebih suka berpikir dalam, serta LEBIH MEMENTINGKAN “ISI” DARIPADA “BUNGKUS” seseorang atau kelompok tertentu. Sebab, jika tidak, negara kita akan terus terpecah belah dan gagal dalam mengerti kebutuhan orang-orang yang idealis dan luar biasa di tanah air tercinta. Negara kita akan terus menjadi surga bagi orang-orang yang pandai “mengemas diri” dengan bungkus yang gilang gemilang, tanpa peduli kualitas isinya. (halaman 76)
- Saat itu, banyak teman Papa yang mengatakan. “Anakmu itu perempuan, BUAT APA SEKOLAH TINGGI-TINGGI?” (halaman 83)
- Karena “isi” begitu dipentingkan di atas “bungkus”, mahasiswa sangat anti-menyontek. Aku rasa budaya menyontek merupakan bagian dari budaya yang mementingkan “bungkus” nilai dan ijazah di atas “isi” ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang pelajar. Di Amerika Serikat, semua mahasiswa harus menandatangani “honor code” sebelum memulai kuliah dan berjanji untuk tidak menyontek. (halaman 86)
- Sebaliknya, di negara yang jauh lebih mementingkan “bungkus” daripada “isi”, palsu atau tidak itu tak penting. Yang penting reputasi atau “bungkus” yang gilang gemilang. Oleh karena itu, di negara kita ada banyak sekali korupsi, plagiarism, penyontekan, dan kebiasaan tidak terpuji lainnya. (halaman 87)
- Aku rasa salah kaprah ini terjadi karena memang sejak kecil tidak ada satu orang pun yang tertarik atau mau berkomunikasi dengan jujur padaku. Karena mereka hanya melihat bungkus luarku, yaitu seorang anak kecil, perempuan Tionghoa yang “berpikiran aneh”, akhirnya aku tumbuh di Indonesia bagaikan anak yatim piatu yang dibuang dan ditelantarkan. (halaman 89)
- Kalau tidak sekolah, tidak ada harapan aku akan mampu mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan! (halaman 93)
- Aku perhatikan, biasanya orang-orang ditempat yang lebih mementingkan “isi” daripada “bungkus” sangat menghormati privasi sesama. Mereka menyadari keputusan-keputusan yang diambil seseorang (berkaitan dengan tempat tinggal, budaya, nama, pekerjaan, gaya hidup, keyakinan, dan sebagainya) merupakan bagian dari proses perkembangan batinnya sebagai manusia. Dan, proses perkembangan ini unik dan tidak boleh dicampuri atau diganggu. (halaman 121)
- Hal-hal yang berbobot dan memerlukan cara berpikir mendalam tidak dihiraukan, sedangkan segala jenis gosip atau prasangka yang tidak berdasar jadi cepat populer. (halaman 133)
- …. Namun, aku yakin dan tahu kebutuhan pokok manusia bukanlah harta benda, melainkan relasi serta interaksi yang jujur dan membangun dengan orang-orang di sekitar. (halaman 135)
- Dalam berteman, mereka selalu ingin tahu, “apa yang bisa aku pelajari dari orang ini?” Apakah orang ini memiliki “isi” yang berbobot, yang bisa memperkaya pengetahuan, perkembangan, dan pengalaman hidupku. (halaman 143)
- Mencintai berarti mengerti potensi dari yang dicintai untuk kebaikan serta kegunaan bagi masyarakat, percaya akan potensi ini dan berupaya mengembangkannya sepanjang hidup. (halaman 157)
- Kasih pada sesama yang didasarkan bukan pada pemberian barang, pujian, atau lainnya, melainkan pada pengertian serta optimism terhadap potensi dari yang dikasihi akan kebaikan bagi masyarakat. (halaman 158)
Note: buku ini bisa pesan lewat http://www.mizanestore.com atau di toko buku kesayanganmu.
Happy reading!
With Love,
Sebab, sekali lagi, setiap insan manusia diciptakan unik dan dilengkapi dengan potensi untuk berkontribusi bagi kebaikan masyarakat. Jika kita menggunakan waktu dan energi untuk saling menggali serta belajar dari potensi dan keunikan masing-masing, tanpa terobsesi pada “bungkus” sesama, betapa indahnya hal ini bagi masyarakat dan bangsa negara! (halaman 56)
Judul Buku : Terobsesi Bungkus, Lupa akan Isi
Penulis : Audrey Yu Jia Hui
Tahun Terbit : Cetakan pertama, Desember 2019
Penerbit : Bentang Pustaka
Jumlah Halaman : 192 halaman
ISBN : 978-602-291-658-1
Sinopsis:
Semua anak yang lahir di dunia butuh bimbingan, pengertian, dan dukungan dari orang-orang sekitar. Namun, apa yang akan terjadi jika seorang anak lahir dalam keadaan tidak biasa? Dalam hidup, kesengsaraanku akibat tumbuh kembang di Indonesia tak terkira banyaknya. Salah satunya karena aku terlahir “gifted”.
Saat masih kecil, tentu aku tidak sadar bahwa aku berbeda. Yang kusadari, semua orang takut pada pertanyaan dan pemikiranku. Mereka dengan sengaja mengabaikan pertanyaan dan pemikiranku. Mereka dengan sengaja mengabaikan pertanyaan demi pertanyaan, yang bagiku sangat penting. Anehnya, ketika aku memenangi berbagai penghargaan, mereka berbondong-bondong mendekat dan bersikap seolah yang paling dekat denganku.
Terobsesi bungkus sehingga lupa akan isi. Ya, perlakuan itulah yang selama ini kuterima dan kulihat terjadi pula pada lingkungan sekitarku. Maka, melalui catatan panjangku ini, aku ingin menunjukkan betapa berbahayanya sebuah persepsi yang memandang seseorang hanya dari kulit luarnya.
Kali ini, saya membaca buku kisah inspiratif kiriman Penerbit Bentang Pustaka dari Yogyakarta. Terima kasih Penerbit Bentang Pustaka :). Ada yang sudah tahu tentang Audrey? Seorang anak gifted yang kaya akan prestasi. Saya beberapa waktu lalu pernah satu kali membaca tentang Audrey, tapi belum benar-benar memperoleh sumber bacaan yang detail. Senang sekali lewat buku ini, saya membaca kisah Audrey, sehingga bisa mengenal sisi lain Audrey, bukan hanya pencapaian-pencapain luar biasa yang sudah diraihnya. Sisi lain, yang mungkin belum banyak diketahui orang (jika saja belum membaca buku ini). Tentang luka batin yang dialaminya saat masih kecil, akibat menerima perlakuan yang kurang menyenangkan. Sebagai seorang anak gifted, yang secara lingkungan kurang mendukung, dan ia merasa sendirian.
Jika kamu selama ini baru mengenal Audrey sebatas prestasi akademiknya yang gemilang, maka ada baiknya kamu membaca buku ini, sambil merenungkan diri, dan menanyakan pada diri sendiri “Apa yang akan kamu lakukan ketika kamu memiliki teman, atau mengenal seorang anak gifted? Haruskah kita anggap sombong atau kita rangkul? Yang mungkin saja, ketika ia bertanya kita tak mampu menjawabnya, akankah kita berterus terang bahwa kita belum tahu jawaban atas pertanyaan yang diajukannya? Ataukah kita mencap dia dengan pimikiran aneh-aneh, semisal menganggap dia sok, atau sombong? Buku ini menurut saya sebagai reminder diri, apakah selama ini kita melihat seseorang hanya dari isi atau bungkusnya saja? Jawabannya, ada di hati nurani kamu
Baca juga: review buku Rudy, kisah masa muda sang visioner
Yang menarik dari buku ini:
- Mengungkap kehidupan yang dialami oleh Audrey, sebagai anak gifted yang merasa di dunia ini sendirian. Walaupun tampaknya hidupnya dikelilingi orangtua, guru, teman sebaya, tidak ada seorang pun yang bisa diajaknya berbicara. Tidak ada seorang pun yang tertarik pada pemikirannya. “Saat itulah aku merasa sendirian bak yatim piatu di dunia ini. Saat itulah kecintaanku terhadap proses belajar dan ilmu pengetahuan muncul—jika aku ingin tahu jawaban atas segala pertanyaan, tanpa ada yang tertarik menanggapi, buku-buku tersebut adalah satu-satunya harapanku. Merekalah yang setia menemaniku, “berbicara padaku, membuka segala rahasia dunia ini”. (halaman 32).
- Saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang gifted, tetapi lewat buku ini dari kacamata Audrey sebagai seorang anak gifted, saya belajar dan diajak untuk menyelami bagaimana kondisi psikologisnya saat masih kecil. Ketika dia membutuhkan seseorang yang bisa diajak bicara sesuai dengan kebutuhannya sebagai anak gifted, tapi tidak ada. Bagaimana kesepiannya dia saat itu -_- Mungkin kalau saya atau kamu disekelilingnya bertemu dengan anak gifted, dengan membaca buku ini setidaknya kita akan tahu bagaimana harus memperlakukannya. Kalau pun tidak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakannya, tinggal jawab tidak bisa tapi ya jangan menjauhi atau mengeluarkan kata-kata yang akan melukai, hingga menimbulkan luka batin dan membuatnya kesepian. Sedih banget pas baca bagian ini: “Aku sendiri sudah tahu sejak usia 4 tahun bahwa jika ingin diperlakukan dengan baik oleh orang-orang dewasa di sekitar, aku harus pandai berpura-pura: berpura-pura ignoran, tak punya pemikiran, dan tak punya pertanyaan. Sebab, kepura-puraankulah yang mampu membeli kasih sayang orang-orang dewasa di sekitar. Satu-satunya sahabat yang mampu menerima dan mengasihiku apa adanya adalah buku”. (halaman 33) -___- …. Anehnya, pengalaman belajar dan bersekolahku di Indonesia sangatlah buruk. Tumbuh kembang dengan buku-buku serta pemikiran sendiri sebagai satu-satunya sahabat yang bisa diajak berbicara tentu sangat tidak sehat bagi seorang anak. Namun, inilah yang harus dilalui anak-anak gifted yang lahir di Indonesia. (halaman 33)
- Selain anak gifted, yang tak kalah sulit bagi Audrey, dia mengalami korban rasis -___- Lewat buku ini, kita juga diajak memahami kondisi seseorang yang dibedakan hanya karena masalah warna kulit dan ras. “Saat semua anak lain berdoa untuk mendapatkan mainan atau liburan, aku berdoa setiap hari agar wajahku tidak tampak seperti orang Cina. Sekali lagi, hal ini tidak mampu kudiskusikan dengan siapa pun sebab semua orang mengatakan berbicara tentang SARA (suku bangsa, ras, dan agama) itu tabu dan berbahaya”. (halaman 48)
- Dia tidak pernah dipaksa belajar oleh orantuanya, tapi dia sungguh-sungguh sangat suka belajar. Menurutnya, jawaban yang paling “popular” atau sering dikumandangkan: “Pastilah Anda sebagai orang tua memaksa Audrey untuk belajar dan Audrey sekarang stress karena sudah lama dipaksa belajar oleh orang tuanya!” Padahal, kenyataannya tidak pernah ada yang memaksaku belajar. Aku rajin belajar karena orang-orang yang mengelilingiku di Indonesia tidak mampu mengerti atau menjawab pertanyaanku. Alhasil, aku mencari jawaban atas pertanyaan tersebut dalam buku-buku pelajaran. (halaman 105)
- Jadi kalau pun Audrey merasa tidak nyaman berada di Tanah Air tercintanya, dengan membaca buku ini kita akan memahami apa yang dia alami, bagaimana dia diperlakukan hanya berdasarkan bungkus, bukan isi.
- Buku yang sangat inspiratif, dan bergizi. Kalau kamu suka buku bacaan kisah inspiratif, buku ini recomended!
Moral of the story: Buku ini mengingatkan saya bahwa sebagai manusia, jangan pernah melihat dan memperlakukan orang berdasarkan warna kulit, agama, suku bangsa, ras, budaya, dan sebagainya. Jangan melihat orang hanya dari bungkus, tapi lihat juga dari isinya. Yang terutama lihat seseorang dari isinya, karena isi tidak akan pernah mengelabui. Sementara bungkus yang oke, belum tentu isinya lebih oke, bisa jadi justru sebaliknya.
Baca juga: review buku I Am Malala
Tentang Audrey: dia berhasil menyelesaikan sekolah dasarnya hanya lima tahun, SMP 1 tahun, SMA 11 bulan—persis di usianya yang masih 13 tahun. Dia usia 10 tahun, skor TOEFL-nya sudah 573, yang memecahkan rekor MURI untuk skor TOEFL tertinggi di usia termuda. Saat usianya 11 tahun, ia telah hafal di luar kepala kamus Indonesia-Inggris yang tebalnya 650 halaman. Saat usia 12 tahun, Audrey sudah kelas tiga SMA. Setelah itu, tidak ada universitas di Indonesia yang bisa menerima mahasiswa baru yang umurnya baru 13 tahun. Akhirnya ia memutuskan pergi ke luar negeri, dan kuliah di University of Virginia—Amerika Serikat, mengambil jurusan fisika. Usai lulus kuliah Audrey berniat mendaftar jadi anggota TNI yang saat itu masih bernama ABRI. “Setelah lulus, saya ingin mendaftar di militer Indonesia (ABRI), yang belum dilakukan gadis Cina sebelumnya. Yang mengejutkan saya, saya menjadi beban cemoohan dan mendapat ancaman dari semua pihak (bahkan dari keluarga saya sendiri), setelah pelecehan ras yang tak ada habisnya, lanjutnya terkait ABRI. Karena gagal masuk jadi anggota TNI, Audrey memutuskan memilih S-3 di Paris, mengambil jurusan Fisika dan Bahasa. Pada tahun 2017, ia dinobatkan sebagai salah satu dari 71 ikon Prestasi Indonesia. Audrey lulus S-3 di usia kurang dari 25 tahun. Audrey kini mengajar bahasa Inggris untuk level tertinggi di Shanghai. Tak hanya mengajar, tapi juga disibukkan menyusun konsep penerapan pancasila yang baik.
Apa yang membuat Indonesia –tanah yang penuh potensi, sumber daya alam, keindahan, dan keragaman—mudah dipecah belah dan sulit untuk bersatu? Jawabannya, jika di[ikir-pikir sebetulnya cukup sederhana. Kebanyakan orang di Indonesia punya budaya lebih mementingkan “bungkus” daripada “isi” sesuatu. Yang dimaksud “bungkus” di sini adalah karakteristik seseorang yang kelihatan mudah diobservasi, seperti penampilan, gerak-gerik, dan gaya bicara. Sementara itu, yang dimaksud “isi” adalah hal-hal yang mendasar dalam diri orang tersebut tetapi tidak mudah diobservasi, seperti pemikiran, idealisme, motivasi hidup, latar belakang dan cara berpikir. (halaman 17)
Baca juga: review buku Dear Tomorrow, notes to my self
Berikut beberapa kalimat favorit saya dalam buku ini:
- Manusia, didorong oleh kehausan akan makna, kepenuhan, dan kekekalan, berusaha mencari jawaban melalui hati dan pikirannya, sambil mengasimilasi segala yang telah ia pelajari dari orang-orang di sekitar. Hasilnya adalah “bingkai” agama yang sebetulnya sama uniknya dengan manusia itu sendiri. (halaman 6)
- Kita perlu memupuk semangat kenegaraan, kebersamaan, dan persaudaraan. Tanpa semangat ini, negera kita akan mudah dipecah belah menjadi kubu-kubu yang penuh kepahitan satu sama lain. (halaman 8)
- Patriotisme sejati datang dari semangat kebersamaan dan persaudaraan antarsesama anggota masyarakat. (halaman 11)
- Aku juga memperhatikan , setidaknya berdasarkan pengalaman sosialku, kebanyakan orang Indonesia suka gosip. Di negara lain yang pernah kukunjungi sedikit sekali yang tertarik pada urusan pribadi orang lain, sedangkan di Indonesia justru hal ini yang paling menarik dan cenderung menjadi buah bibir. Mulai dari gaya hidup seseorang sampai kisah asmaranya, semua itu adalah topik hangat untuk didiskusikan dan diobrolkan. (halaman 18)
- Jangan sampai kita terobsesi pada kesempurnaan “bungkus” yang tidak penting sehingga lupa akan “isi” yang lebih perlu dikembangkan, yang mengandung jauh lebih banyak benih kebaikan. Jangan sampai kita lupa bahwa obsesi terhadap “bungkus” itulah yang membuat kita lebih memperhatikan perbedaan dan keburukan dalam diri sesama dan lantas melupakan semangat persaudaraan dan potensi kebaikan dalam diri seluruh makhluk hidup. (halaman 23)
- Di Indonesia, orang yang mengaku “gifted” atau genius masih dianggap sombong atau sok pamer sehingga akhirnya layanan pendidikan dan bimbingan untuk anak-anak gifted hampir tidak ada. Masalahnya, karakteristik “gifted” bukanlah sesuatu yang superior untuk dipamerkan. Hal ini adalah kondisi yang harus dipahami supaya lembaga pendidikan dan para orang tua tahu bagaimana harus membimbing tunas bangsa yang terlahir dengan karakteristik tersebut. (halaman 28)
- Aku merasa sangat kagum akan keharmonisan dan kesatuan kelima sila Pancasila. (halaman 41)
- Bukankah ini sangat mirip dengan proses jatuh cinta? Mulanya kita hanya mampu mengagumi si A dari jauh, kemudian perlahan-lahan kita mengenalnya. Perlahan-lahan kita mengenal seluk beluk, keunikan, dan rahasia si A, sampai akhirnya kita betul-betul bersatu dengannya. namun, meski kemudian telah merasa betul-betul mengenal dia, pasti kita masih sering terkejut oleh keunikan atau hal baru dari kepribadiannya. (halaman 52)
- Sebab, sekali lagi, setiap insan manusia diciptakan unik dan dilengkapi dengan potensi untuk berkontribusi bagi kebaikan masyarakat. Jika kita menggunakan waktu dan energi untuk saling menggali serta belajar dari potensi dan keunikan masing-masing, tanpa terobsesi pada “bungkus” sesama, betapa indahnya hal ini bagi masyarakat dan bangsa negara! (halaman 56)
- Aku betul-betul berharap, di masa depan, Indonesia mampu berubah menjadi negara yang lebih suka berpikir dalam, serta LEBIH MEMENTINGKAN “ISI” DARIPADA “BUNGKUS” seseorang atau kelompok tertentu. Sebab, jika tidak, negara kita akan terus terpecah belah dan gagal dalam mengerti kebutuhan orang-orang yang idealis dan luar biasa di tanah air tercinta. Negara kita akan terus menjadi surga bagi orang-orang yang pandai “mengemas diri” dengan bungkus yang gilang gemilang, tanpa peduli kualitas isinya. (halaman 76)
- Saat itu, banyak teman Papa yang mengatakan. “Anakmu itu perempuan, BUAT APA SEKOLAH TINGGI-TINGGI?” (halaman 83)
- Karena “isi” begitu dipentingkan di atas “bungkus”, mahasiswa sangat anti-menyontek. Aku rasa budaya menyontek merupakan bagian dari budaya yang mementingkan “bungkus” nilai dan ijazah di atas “isi” ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang pelajar. Di Amerika Serikat, semua mahasiswa harus menandatangani “honor code” sebelum memulai kuliah dan berjanji untuk tidak menyontek. (halaman 86)
- Sebaliknya, di negara yang jauh lebih mementingkan “bungkus” daripada “isi”, palsu atau tidak itu tak penting. Yang penting reputasi atau “bungkus” yang gilang gemilang. Oleh karena itu, di negara kita ada banyak sekali korupsi, plagiarism, penyontekan, dan kebiasaan tidak terpuji lainnya. (halaman 87)
- Aku rasa salah kaprah ini terjadi karena memang sejak kecil tidak ada satu orang pun yang tertarik atau mau berkomunikasi dengan jujur padaku. Karena mereka hanya melihat bungkus luarku, yaitu seorang anak kecil, perempuan Tionghoa yang “berpikiran aneh”, akhirnya aku tumbuh di Indonesia bagaikan anak yatim piatu yang dibuang dan ditelantarkan. (halaman 89)
- Kalau tidak sekolah, tidak ada harapan aku akan mampu mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan! (halaman 93)
- Aku perhatikan, biasanya orang-orang ditempat yang lebih mementingkan “isi” daripada “bungkus” sangat menghormati privasi sesama. Mereka menyadari keputusan-keputusan yang diambil seseorang (berkaitan dengan tempat tinggal, budaya, nama, pekerjaan, gaya hidup, keyakinan, dan sebagainya) merupakan bagian dari proses perkembangan batinnya sebagai manusia. Dan, proses perkembangan ini unik dan tidak boleh dicampuri atau diganggu. (halaman 121)
- Hal-hal yang berbobot dan memerlukan cara berpikir mendalam tidak dihiraukan, sedangkan segala jenis gosip atau prasangka yang tidak berdasar jadi cepat populer. (halaman 133)
- …. Namun, aku yakin dan tahu kebutuhan pokok manusia bukanlah harta benda, melainkan relasi serta interaksi yang jujur dan membangun dengan orang-orang di sekitar. (halaman 135)
- Dalam berteman, mereka selalu ingin tahu, “apa yang bisa aku pelajari dari orang ini?” Apakah orang ini memiliki “isi” yang berbobot, yang bisa memperkaya pengetahuan, perkembangan, dan pengalaman hidupku. (halaman 143)
- Mencintai berarti mengerti potensi dari yang dicintai untuk kebaikan serta kegunaan bagi masyarakat, percaya akan potensi ini dan berupaya mengembangkannya sepanjang hidup. (halaman 157)
- Kasih pada sesama yang didasarkan bukan pada pemberian barang, pujian, atau lainnya, melainkan pada pengertian serta optimism terhadap potensi dari yang dikasihi akan kebaikan bagi masyarakat. (halaman 158)
Note: buku ini bisa pesan lewat http://www.mizanestore.com atau di toko buku kesayanganmu.
Happy reading!
With Love,