Buat kamu yang masih senang membaca buku cetak, kadang tidak terasa tumpukan buku telah menggunung. Kalau kamu mau koleksi sebetulnya semakin banyak tumpukan buku, jadi berasa seperti memiliki perpustakaan sendiri, bukan? Dan bukankah memiliki perpustakaan di rumah, rata-rata merupakan impian para pembaca buku?
Dulu, saya termasuk orang yang bermimpi memiliki perpustkaan pribadi dan memiliki koleksi ribuan buku, seperti perpustakaannya Pak Habibie dan Ibu Ainun. Namun, seiring berjalannya waktu, tepatnya setelah tahun lalu saya membaca buku karya Marie Kondo, saya sempat tertegun saat membaca bagian dari menyingkirkan buku. Melepaskan barang-barang yang sudah tidak diperlukan, berhasil saya lakukan dengan semangat dan membuat hati saya lega. Kecuali buku, saya masih merasa bahwa semua buku yang saya koleksi memberikan kebahagiaan.
Setahun berlalu, di akhir bulan Oktober 2020 saya kemudian membaca buku Suteru Gijutsu karya Nagita Tatsumi yang juga menginspirasi Marie Kondo dalam dunia bebenah. Saya terhenyak. Tiba di bagian barang berupa buku, dengan tegas penulis buku Suteru Gijutsu Seni Membuang Barang yang sudah terbit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Bentang Pustaka, bilang untuk membuang buku. Duh, sempat berpikir bahwa saya tidak akan pernah bisa membuang buku. Saya lebih senang dengan kata melepas, bukan membuang buku sebab buku bagi saya memiliki nilai sentimental tersendiri. Saya tuh, terlalu sayang sama kamu, buku.
Review Buku The Life Changing Magic of Tidying Up
Yang paling sulit bagi saya sebagai pecinta buku, yaitu membuang buku. Terus terang, saya tidak memaksakan diri untuk mengikuti metode juga strategi yang diberikan para penulis. Saya menyesuikan dengan diri saya, sebab walau bagaimana pun buku merupakan sumber ilmu yang bisa membuat saya bahagia saat membacanya. Buku yang pernah saya baca yaitu The Life Changing Magic of Tyding Up yang lebih menekankan pada menyimpan barang-barang yang kamu perlukan berupa barang yang membuat kamu bahagia. Sementara penulis buku Suteru Gijutsu, lebih ke arah kalau memang barang sudah tidak digunakan lagi, daripada disimpan mendingan dibuang. Tegas dan lugas, cara yang menarik dan unik menurut saya. Karena dalam agama yang saya yakini, juga diajarkan agar arif dalam menggunakan barang, dan jika barang sudah tidak digunakan lebih baik diberikan (jika kondisinya masih layak), atau pun dibuang kalau sudah tidak layak pakai, dan tentu saja tidak perlu menyimpan barang yang sudah tidak dipakai/digunakan agar tidak mubazir.
Review buku Suteru Gijutsu karya Nagisa Tatsumi

Baca juga: beberapa buku yang saya baca di tahun 2019
Khusus buku. Saya lebih suka menggunakan kata βmelepasβ buku ketimbang βmembuangβ buku. Saya tidak akan pernah tega membuang buku ori, karena saya tahu proses membuat buku itu tidak mudah, tidak hanya ditulis oleh seorang penulis, kehadiran sebuah buku nyatanya melibatkan banyak orang. Makanya, kalau membuang buku ori itu sungguh akan membuat hati saya sedih.
Beruntung penulis Suteru Gijutsu memberikan opsi lain, tidak harus membuang, kita bisa menjual buku-buku kita di internet, atau juga menyumbangkannya. Teringat saya sudah melakukan hal ini sejak beberapa tahun lalu (meski jumlah buku dalam skala kecil). Maka, ketimbang menjual buku-buku koleksi, saya lebih senang untuk melepaskan sebagian buku koleksi.
Jadi, lebih baik saya memilih opsi lain dari kegiatan membuang buku, ke arah melepas buku. Caranya? Sebetulnya dalam buku Suteru Gijutsu, penulis memberikan beberapa opsi. Namun, yang paling pas dengan saya adalah melepas buku ke taman baca atau perpustakaan yang ada di daerah. Kenapa saya memilih perpustakaan daerah? Karena saya dulu berasal dari anak daerah dan tahu betul serta merasakan betapa sulitnya ingin meminjam buku bagus, bahkan mau beli pun dulu harus ke kota dulu, sebab toko buku saat itu belum menjangkau daerah.
Apakah saya melepas semua buku? Tentu saja tidaaaak >.< Sebab masih ada buku-buku bagus yang menurut saya penting. Dan mulai kini, saya akan makin selektif dalam membeli buku cetak, sambil terus belajar menyesuaikan diri dengan membaca buku e-book legal di aplikasi Google Play Book, atau mampir ke iPusnas.
Paling tidak, lewat buku Suteru Gijutsu menjadi reminder untuk tidak kalap jajan buku pas lagi diskon, agar ujung-ujungnya buku tidak memakan tempat dan semakin menggunung. Di tahun 2020, masa pandemi meskipun bertebaran diskon buku yang menggiurkan, saya masih bisa menahannya. Bukan tidak mau jajan, tapi karena sedang berhemat.
Khusus untuk para pengoleksi buku, saya tahu ini bagian tersulit dari seni membuang barang, tapi semua itu bisa disesuaikan dengan keinginan kamu. Kamu mau timbun dan koleksi buku, silakan saja, tidak ada paksaan. Senyamannya kamu saja, toh uang-uang kamu juga buat beli buku, jadi ya silakan pilih opsi yang sesuai dengan kamu.
Kalau saya sederhananya berpikir begini, kalau buku-buku yang sudah dibaca dan cukup dibaca sekali dan tidak harus dikoleksi terus ada tempat seperti perpustakaan yang membutuhkan buku secondhand ori, kenapa tidak diberikan saja, siapa tahu bermanfaat. Khusus untuk buku-buku kesayangan, untuk saat ini saya tetap simpan, tapi saya memberikan batasan.
Apakah setelah melepas buku-buku koleksi, kemudian saya berhenti jajan buku? Tentu saja tidak, hehehe. Karena jajan buku buat saya sebagai hadiah bagi diri sendiri. Kenapa saya memberikan hadiah pada diri sendiri? Karena ini cara saya berterima kasih pada diri sendiri yang masih terus berjuang menjalani perjalanan kehidupan. Dan tentu saja poin utamanya, karena saya cinta membaca dan cinta buku.
Btw, untuk buku, saya belum bisa seminimalis seperti konsep yang ditawarkan Fumio Sasaki dalam bukunya Goodbye Things Hidup Minimalis Ala Orang Jepang. Saya belum bisa beralih sepenuhnya ke buku e-book legal. Pelan-pelan saja, saya masih belajar menyukai baca buku e-book, sambil terus baca buku cetak.
Apakah kamu punya pengalaman sentimental terkait koleksi bukumu?
Baca juga: buku bajakan rugikan diri sendiri dan banyak pihak
Happy reading! πππ
With Love, β€οΈ
Koleksiku memang tidak sebanyak mbak Ai, tetapi mungkin semua yg suka buku pasti berat melepas. Itu juga terjadi dgnku. Bahkan utk buku yg sama sekali tak kubaca, tetap berat. Bahkan, dulu aku lebih rela membeli buku dengan judul sama, bila ada yg menginginkan buku milikku daripada memberikan yg sdh menjadi milikku.
LikeLiked by 1 person
Iya kan mbak, berat melepaskan buku π
Mantap banget ini mbak Sondang, sampai rela membeli buku dengan judul yang sama. ππ
LikeLiked by 1 person
πππ€
LikeLiked by 1 person
punya pengalaman yg sama dgn mb sondang, pernah tiga kali beli buku yg sama krn ada yg minat untuk ikut membacanya, silahkan saja bawa kalau memang suka toh saya masih bisa di order lagi, sebenarnya hanya buku sederhana judulnya “Gusti Ora Sare” tapi saya harus punya.
LikeLike
Wow, Mantaap Mas π
Sepertinya judul yang menarik
LikeLiked by 1 person
Sepertinya banyak juga koleksinya, kak. Hehehe… π
Kalau ada buku-buku yang mau dilepas, saya boleh ambil nggak ya? π
LikeLike
Sudah dilepas semua kak.
LikeLike
Aku termasuk yg pelit melepaskan buku, teramat sayang, sesekali rindu untuk membaca kembali buku lama. Resikonya sesekali berbenah untuk merapikan kembali ke lemari
LikeLiked by 1 person
Mantaaap pak, sayang dengan buku koleksi π
Awalnya sulit pak.
Saya bahkan perlu membaca buku tentang beres-beres untuk pada akhirnya melepaskan sebagian buku koleksi.
LikeLiked by 1 person
π saya baru baca good bye things udah mikir gimana nasib buku2 ini. Ga rela mau dilepas. Jadi solusinya sebelum menumpuk, butuh tempat banyak, pelan2 beralih ke buku digital. Beneran ga rela. πππ
LikeLiked by 1 person
Saya belum bisa beralih sepenuhnya ke buku digital kayak penulis baca Good bye things, Kak ππ Saya belum bisa seminimalis itu, karena masih suka buku cetak. Paling dikurangi saja π
Kalau gak rela jangan dipaksa, Kak π karena melepaskan butuh merelakan π
LikeLike
Asli kalo dikata harus melepas, aku ga bakal bisa
Soalnya buku itu teman yg paling pengertian buat aku, tapi hanya beberapa yg aku rasa begitu
Semangat ya nulisnya!
LikeLiked by 1 person
Jika buku sudah jadi sahabat terbaik, pasti akan sulit melepaskannya. Dulu, saya juga begitu. Sekarang sedang belajar sedikit-sedikit.
Terima kasih, Kak.
Tetap semangat membaca buku Kak ππ
LikeLike
Saya dulu juga berpikir kalo tidak mungkin dan tidak mau untuk melepas buku-buku yang sudah saya beli, rasanya sayang sekali. Membeli buku dengan usaha sendiri masa mau dilepas bgitu saja? tapi ada satu situasi yang membuat saya akhirnya melepaskan buku-buku yang ternyata bukan selera saya atau hanya saya baca sekali. Sekitar tahun 2016-2017, saya impulsif sekali membeli buku, padahal rak di kamar saya kecil. Akhirnya saya merasa sumpek melihat buku-buku itu dan berpengaruh ke mood saya, saya merasa kasihan juga karena terbengkalai. Ada rasa bersalah karena membiarkan buku-buku tidak tersentuh. Lalu, saya memutuskan untuk mengurangi buku-buku saya, saya titip jual di toko buku online langganan, kebetulan ownernya baik hati sekali mau menerima titip jual, saya juga tawarkan ke saudara dan setelah melepaskan cukup banyak buku, rasanya lega. Awalnya memang ada rasa tidak rela, berat buat melepas, dan kekhawatiran kalau saya mencari2 buku itu tapi setelah dilepas ya adanya lega. Setelah itu, saya jadi lebih selektif untuk membeli buku. Kalau saya tertarik dengan satu judul buku dari ulasan bookstagrammer dan buku itu populer, saya akan tanya ke diri sendiri beberapa kali untuk memastikan bahwa saya memang butuh buku itu bukan karena ikut-ikutan saja. Walaupun sekarang sudah lebih selektif membeli buku tapi nyatanya rak buku selalu penuh hahahaa…. dan kalau sudah seperti itu, saya bakal lepas lagi beberapa buku. Jadi, kegiatan melepas buku bisa dilakukan terus-menerus.
Kalau soal ebook, saya sebenarnya kurang nyaman harus menatap layar ponsel terus-menerus tapi saya juga tidak anti membaca ebook. Tapi untuk buku-buku non fiksi, saya lebih suka membaca buku fisiknya, sedangkan untuk novel, saya kadang juga membaca versi ebooknya.
LikeLiked by 1 person
Perasaan lega ini ya Kak, yang bisa kita dapatkan setelah melepas buku-buku, jadinya plooooog βΊοΈ
Dan walaupun kita sudah selektif beli buku Kak, satu dua kita beli kan lama-lama jadi numpuk lagi π makanya proses melepaskan buku ini memang akan berlangsung selama kita terus membeli buku fisik dan kalau space rak buku sudah penuh π
Kalau untuk kesehatan, membaca buku fisik memang lebih nyaman tiada duanya dari buku ebook, Kak Na βΊοΈ
LikeLike
Iya, betul plooong rasanya π
Ini juga benar sih, selama masih jajan buku fisik ya tetap bakal numpuk ππ
Setuju, Mbak π
LikeLiked by 1 person
Oya Kak Na, tak perlu feeling guilty ketika sudah melepaskan buku, kemudian tetap selektif jajan buku. Nanti kalau udah numpuk, tinggal lepas, demikian siklusnya π yg penting plong dan bahagia jajan buku π
LikeLike
Terima kasih Mbak, sudah mengingatkan untuk tidak perlu merasa bersalah π
LikeLiked by 1 person
Sama-sama, Kak Na π
LikeLike
Saya juga mulai melepaskan buku-buku saya, mbak Ai. Beberapa buku yang isinya saya anggap memuat hal “tidak aman” untuk dibaca orang lain, saya bakar. Sementara beberapa buku yang isinya bagus dan aman tapi saya sudah ingin melepasnya, maka saya berikan ke orang lain. Masih ada beberapa buku yang masih saya sayangi, tapi sepertinya harus dilepaskan. Belum tau kapan….
LikeLiked by 1 person
Alhamdulillah, keren Mbak Zaleha ππ
Lega, ya Mbak.
Semoga buku-buku yang diberikan akan bermanfaat untuk mereka. Aamiin Aamiin Aamiin.
Seneng deh, sama buku saja disayang. Tak apa mbak, bisa kapan-kapan dilepaskannya.
Semoga masih ada buku-buku kesayangan yang tetap dikoleksi atau bisa diwariskan untuk anak-anak ππ
LikeLiked by 1 person