[Review Buku] DOKTER di MEDAN LARA Karya Sili Suli dan Hurri Hasan

Jalan Tuhan belum tentu yang TERCEPAT, bukan pula yang TERMUDAH, tapi sudah pasti yang TERBAIK. (halaman xiv)

Never forget the types of people in your live. Who helped you in your difficult times. Who left you in difficult time. Who put you in difficult time. (anonymus) –(halaman 234)

Judul Buku             : Dokter di Medan Lara
Penulis                    : Sili Suli  dan Hurri Hasan
Tahun Terbit          : Cetakan I, Maret 2020
Jumlah halaman   : xvi + 354 halaman : 22 x 30 cm
Penerbit                  : Arti Bumi Intaran (Anggota IKAPI)
ISBN                        :978-602-5963-77-3

“Saya sudah turun di 89 lokasi bencana. Sedangkan Idrus mungkin lebih dari itu karena dia sampai ke Afganistan, Iran, dan Jepang. Bila ada bencana alam, Idrus itu sudah tidak memikirkan dirinya sendiri. Dia langsung berangkat. Dia itu sama dengan saya, kalau sudah di lokasi bencana, apa saja dimakan. Dia tidak pernah pusing mau agama apa, suku apa, kalau mereka itu korban bencana alam, ya harus segera ditolong. Kepeduliannya terhadap korban bencana sangat tinggi. Dia juga sangat santun dan rajin sholat. Dia sudah menjadi guru besar, tetapi masih terus berburu ilmu. Makanya ilmu berkembang pesat. Dia pantas menjadi panutan dalam ilmu dan perilaku. Masih langka ahli bedah yang seperti Idrus. Dia bagaikan ayam jago dari Timur, karena dia jago dalam ilmu dan perilaku.”—Prof Aryono D. Pusponegoro, MD, Ph.D, FCSI, FRCSEd Guru Besar Emeritus of Surgery Universitas Indonesia

Di pertengahan bulan april 2020, saya menerima sebuah buku biografi kiriman penulis, Mas Sili Suli. Beberapa waktu sebelumnya, Mas Sili Suli mengabarkan pada saya, akan mengirim sebuah buku berjudul Dokter di Medan Lara. Mengetahui kabar tersebut, saya langsung penasaran. Dari judulnya saja, sepertinya buku ini isinya akan sangat menarik. Padahal, saya belum mengenal tokoh yang ditulis oleh Mas Suli. Bagi orang awam seperti saya yang bukan dari kalangan dunia kedokteran, nama beliau belum saya kenal. Tapi di kalangan luas khususnya dalam dunia kedokteran, pastilah beliau memiliki reputasi yang sangat baik dan rekam jejak beliau sangat panjang. Kali ini, saya membaca kisah seorang dokter yang sering terjun dalam menolong para korban bencana alam maupun konflik yang terjadi di Indonesia. Apakah nama beliau jarang terpublikasi oleh media massa, ataukah memang sayanya yang belum mengetahui beliau? sepertinya memang saya saja yang belum tahu.  Buku ini berkisah tentang perjalanan dan kiprah dokter ahli bedah, yang tidak saja dikenal dengan keahlian dalam bidangnya, namun kontribusinya dalam menolong korban bencana dan konflik tanpa pandang bulu, tanpa melihat status dan agama. Serta dedikasinya dalam dunia pendidikan di almamaternya, UNHAS (Universitas Hasanuddin), membuat buku ini terasa sangat bergizi dan seorang sosok inspiratif Prof. Idrus.

Dalam buku ini, 50 halaman pertama disajikan sejarah kehidupan dan latar belakang Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.B, Sp.BO, kelahiran Makassar pada tahun 1950. Beliau merupakan dokter ahli bedah, yang telah berkecimpung dalam berbagai kegiatan menyelamatkan dan menolong korban bencana alam, juga konflik, baik di dalam dan di luar negeri. Tidak hanya menjalankan profesinya sebagai dokter, Prof. Idrus juga aktif dalam dunia pendidikan, tercatat sebagai dosen, dekan Fakultas Kedokteran UNHAS, hingga menjabat sebagai rektor UNHAS selama dua periode. Selain itu beliau juga aktif dalam berbagai organisasi dan berbagai penghargaan telah diterima beliau.

Baca juga: review buku Mr. Crack dari Pare Pare, Rudy Kisah Masa Muda Sang Visioner dan  The Power of Ideas BJ Habibie

Dokter bukanlah cita-cita awal Prof. Idrus, awalnya beliau ingin masuk fakultas teknik. Namun, ibunya menginginkannya masuk Fakultas Kedokteran. Tidak ingin melukai impian ibunya, maka Prof. Idrus saat itu menuruti permintaan ibunya, meskipun harus mengorbankan cita-cita awalnya.  Setelah mengikuti seleksi dan lolos masuk Fakultas Kedokteran, UNHAS, beliau pun belajar dengan sungguh-sungguh selama kuliah di sana.

Peran dan campur tangan sang ibu memang sangat besar dalam kesuksesan Idrus menggapai karir di bidang medis. Sejak resmi menjadi mahasiswa kedokteran, ibunya langsung merombak dan menata kamar khusus untuk Idrus menjadi lebih nyaman dipakai belajar. Sang ibu tahu, belajar di bidang kedokteran bukanlah perkara mudah. Diperlukan usaha keras dan konsentrasi yang tinggi dalam belajar untuk berhasil. (halaman 23)

Selain didampingi ibu yang hebat, Prof. Idrus saat itu memiliki sahabat-sahabat yang sangat menyenangkan. Tiga sekawan—seringkali disematkan pada beliau dan kedua sahabatnya, saking akrabnya. Memiliki sahabat yang sangat akrab dalam bidang pelajaran yang sama, memudahkan mereka untuk belajar dan berbagi ilmu. Mereka pun selalu belajar bersama di banyak tempat. Secara bergantian, Idrus dan kelompok belajarnya selalu belajar bersama secara berpindah-pindah tempat. Kadang tempat belajar mereka di rumah orangtua Farid Husain, Saman Kalla, lalu berpindah lagi ke rumah orangtua Idrus. (halaman 24-25)

Sosok Prof. Idrus ini sangat unik, memiliki jiwa sosial yang tinggi, namun di masa mudanya juga suka berontak, pernah berantem, bahkan pernah dikeroyok. Namun tidak pernah takut, meskipun pernah sampai dilarikan ke rumah sakit, akibat dikeroyok. Walaupun suka berontak, sisi lainnya juga suka menolong.

Bagi Idrus sendiri, bakti sosial di Jeneponto seolah telah membuka mata kepala, mata hati dan mata batinnya mengenai penderitaan orang lain. Kelak, pengalaman bakti sosial ini mengantar Idrus dalam kegiatan penyelamatan nyawa manusia yang mendunia. Meski sudah terkenal memiliki jiwa sosial yang tinggi, tak berarti Idrus berubah jadi anak manis. Jiwa solidaritas dan pemberontaknya tetap besar. Sifat itu seringkali membuatnya masih terlibat perkelahiaan dengan mahasiswa. (halaman 36)

Baca juga : I Am Malala dan Ahed Tamimi Gadis Palestina yang melawan tirani Israel

Buku yang terdiri dari 31 bagian ini, sangat menarik sekali, isinya menceritakan perjalanan Prof. Idrus selama beliau mengabdikan hidup dalam bidang kemanusiaan. Ada banyak bencana alam yang pernah dialami oleh negara Indonesia. Biasanya saya hanya sebatas tahu informasinya lewat media massa, baik cetak maupun elektronik, yang mana tentu berita tersebut hanya memberitahu dan menggambarkan secara garis besar sebuah peristiwa, jarang sekali terdengar kabar atau menyorot di balik para relawan yang menolong dan berada di tempat kejadian. Prof. Idrus ini merupakan satu dari sekian banyak para relawan yang selalu sigap terjun ke lapangan saat terjadi bencana alam.

Sebetulnya, sambil membaca, memori saya ikut kembali mengingat rangkaian peristiwa yang terjadi di tanah air maupun di dunia internasional. Info yang sebatas saya baca dan dengar lewat media massa. Tidak menyangka, saya bisa menikmati langsung bacaan dari seorang tokoh yang sering terjun ke lapangan untuk menolong para korban bencana. Sungguh suguhan bacaan yang sangat inspiratif dan layak dibaca siapa pun, baik kalangan dunia kedokteran, para mahasiswa kedokteran, dan siapa saja yang suka bacaan inspiratif.

Berikut ini beberapa rangkaian peristiwa yang terjadi baik di dalam negeri maupun luar negeri, yang membuat Prof. Idrus selalu bersedia datang untuk menolong para korban:

  • Peristiwa alam melanda wilayah Bagian Timur Indonesia. Pada tanggal 12 Desember 1992, gempa teknotik cukup hebat disertai tsunami menghantam pulau Flores. Dan bencana tsunami di Ende telah memporak porandakan wilayah tersebut.
  • Gempa tektonik berukuran 7 skala richter di Tolitoli Sulawesi Tengah pada tahun 1996.
  • Konflik Ambon
  • Misi kemanusiaan bagi pengungsi Timor Timur
  • Konflik di Wilayah Maluku Utara yang terjadi pada Agustus 1999
  • Gempa tektonik berkekuatan 7,3 richter di provinsi Bengkulu, pada 4 juni 2000
  • Tugas kemanusiaan di perbatasan Pakistan dan Afganistan
  • Gelombang eksodus TKI di Nunukan
  • Gempa dahsyat yang mengguncang kota Bam di Provinsi Kerman, sekitar 1000 km sebelah selatan kota Teheran, Iran yang terjadi pada 26 desember 2003
  • Tsunami Aceh, badai tsunami terbesar sepanjang abad menerjang wilayah paling barat Indonesia, terjadi pada hari minggu 26 desember 2004.
  • Gempa di Nias, dan beliau selamat dari kecelakaan helikopter.
  • Gempa di Yogyakarta tahun 2006
  • Gempa di Padang tahun 2009
  • Gempa di wilayah timur Jepang berkekuatan 8,9 skala richter pada jumat 11 maret 2011
  • Gempa Pidie Jaya
  • Menangani gizi buruk di Asmat
  • Hari-hari penuh gempa di Lombok
  • Gempa di Palu dan Donggala
  • Kebakaran hutan di Gunung Lompobattang, kabupaten Gowa, minggu 20 oktober 2019.

Baca juga review buku: Si Anak Kuat, Si Anak Pintar, Si Anak Pemberani, si Anak Spesial, Si Anak Cahaya, Si Anak Badai, Anak Rantau, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi

Tim Brigade Siaga Bencana Indonesia Timur (BSBIT) UNHAS yang dipimpin Idrus Paturusi  medis UNHAS. Mereka sering menjadi tim bantuan pertama yang tiba di daerah lokasu kejadian, misalnya gempa di Bengkulu, tsunami di Aceh. Ini sesuai dengan motto mereka yang mereka usung: datang paling awal, pulang paling akhir.(halaman 105)

Baca juga: Terapi Berpikir Positif karya dokter Ibrahim Elficky

Ketika peristiwa bencana alam tsunami di Aceh terjadi, Prof. Idrus sedang menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran UNHAS. Selain itu, beliau juga menduduki posisi sebagai Ketua Ikatan Ahli Bedah Indonesia, sekaligus Koordinator Brigade Siaga Bencana Wilayah Indonesia Timur (BSBIT). BSBIT masih menjadi satu-satunya organisasi yang selalu siap turun ke lapangan memberikan bantuan kemanusiaan, karena saat itu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum dibentuk oleh pemerintah.

Idrus dan kawan-kawannya sesama dokter, sudah tak asing lagi berurusan dengan mayat. Namun, ini pertama kali mereka melihat ada begitu banyak mayat bergelimpangan di tengah kota, ratusan mungkin ribuan hanya dalam satu kali sapuan mata. Di mana-mana sepanjang mata memandang, yang mereka temukan hanyalah mayat dan mayat. Badai tsunami telah benar-benar menghancurkan Aceh. (halaman 156)

Menurut Drg. Wawan Lukman, beliau mengenal Prof. Idrus sebagai pribadi yang selalu bekerja tanpa pamrih dalam melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan. Bukan hanya korban bencana yang menjadi fokus perhatian Idrus saat bertugas di lapangan, tetapi dia juga sangat memperhatikan kondisi seluruh anggota tim yang ikut serta bersamanya. Seperti saat berada di Aceh, ketika bahan makanan untuk tim medis telah habis, Idrus pula yang sibuk mencari tambahan perbekalan. Hal inilah yang membuatnya sangat salut dan kagum pada perjuangan dan kiprah Idrus di medan lara. Dengan mencontoh semangat dan teladan koleganya itu, dia pun bergerak cepat mengumpulkan sumbangan perbekalan dari berbagai pihak untuk membantu perjuangan rekan-rekannya yang sedang menjalankan misi kemanusiaan di Aceh. (halaman 161)

Banyak hal yang tidak menyenangkan dihadapi di lapangan, misalnya pernah di periksa polisi di Bengkulu, di todong senjata di Ternate, sport jantung di perbatasan Pakistan dan Afganistan. Namun semua itu tidak pernah menyurutkan langkah dan semangat Prof. Idrus dalam kegiatan kemanusiannya.

Tetapi ancaman di ujung peluru tak pernah menyurutkan niat Idrus untuk menolong sesama umat manusia. Apalagi dia sudah berpengalaman berhadapan langsung dengan senjata dan tantangan maut, saat melaksanakan tugas kemanusiaan di Ambon dan Ternate. (halaman 109)

… bahkan nyawanya sendiri nyaris lepas dari raganya, telah membuat hatinya tergores tajam, dan merasa betapa kecil dirinya di tengah alam semesta ciptaan ilahi. Idrus nyaris tak sanggup berkata-kata, dan saat itu juga dia hanya ingin berbicara langsung kepada Allah SWT dalam sebuah doa: “Ya Allah, sudah beberapa kali saya turun langsung untuk membantu sesama yang menjadi korban bencana alam maupun korban konflik. Dan kami melakukannya dengan ikhlas. Kiranya Engkau tetap melindungi kami semua yang ikut ke sini dan bisa kembali dengan selamat.” (halaman 122 &124)

Seperti yang diungkapkan Prof. Idrus, beliau masih mengingat kata-kata yang disampaikan Pak Jusuf Kalla, yang telah beliau kenal sejak masih kuliah: “Kesulitan tunduk pada orang yang berjuang, kesukaran tunduk pada orang yang sabar, kekuatan mengiringi orang yang ikhlas.” Kata-kata bijak ini menjadi kekuatan moril pada saya untuk senantiasa berusaha bekerja dengan ikhlas, termasuk memberikan sesuatu pada orang yang membutuhkan utamanya di daerah bencana atau konflik. (halaman x)

Keterlibatan Prof. Idrus dalam menangani gempa di Aceh pada tanggal 26 desember 2004 yang merupakan bencana alam terbesar yang pernah menimpa Indonesia. Oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), gempa dan badai tsunami yang terjadi tahun 2004 itu tercatat sebagai salah satu bencana alam terbesar di abad ini. Bagi Prof. Idrus dan Prof. Aryono, tugas kemanusiaan di Aceh menjadi tugas kemanusiaan paling berat sekaligus paling berkesan sepanjang kiprah mereka dalam dunia kebencanaan.

Di Jakarta, Idrus berkesempatan mempresentasikan tentang kondisi Aceh pasca gempa Aceh. Dalam kegiatan yang berlangsung di Hotel Acasia Jakarta, banyak rektor PTN yang kaget setelah mengetahui kondisi riil di Banda Aceh. Pertemuan MRPTNI (Majlis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia) tersebut menjadi titik awal terjalinnya hubungan dekat antara Idrus dengan beberapa rektor PTN, (halaman 173)

Selama lebih dari dua dekade, Prof Idrus Paturusi terjun dalam berbagai misi yang dipimpinnya,  senantiasa menjadi harapan dan andalan bagi setiap anggota timnya saat menjalankan tugas kemanusiaan di wilayah konflik, keamanan dan keselamatan setiap aggota Tim Medis Brigade Siaga Bencana Indonesia Timur (BSBIT) menjadi tanggung jawab beliau.

Baca juga:review buku Surya Mentari dan Rembulan Karya Sili Suli

Yang menarik dari buku ini:

  • Desain cover-nya membuat saya penasaran dengan kisah dibalik Dokter di Medan Lara. Ternyata yang menjadi sampul cover ini, ada di halaman 71. Ketika penugasan Prof. Idrus di wilayah konflik Ambon. Beliau baru mendarat di Bandara Pattimura untuk melaksanakan tugas kemanusiaan di Ambon.
  • Bukunya yang sangat bergizi, buku ini juga dilengkapi quote-quote inspiratif.
  • Saat membaca buku, kertasnya sangat bagus sekali. Kemudian saya menanyakan hal ini kepada penulisnya. Buku ini menggunakan kertas art paper 150 gram, sampulnya art paper 350 gram
  • Buku ini sangat bagus, penasaran dengan proses pembuatannya, maka saya pun menanyakan pada penulisnya berapa lama menulis buku ini. Menurut informasi dari Mas Sili Suli, buku ini dikerjakan sejak bulan Oktober 2016 dan mewawancarai 49 narasumber di Makassar, Yogyakarta, Palu, Lombok dan Jakarta. Kebayangkan gimana bagusnya buku ini? Karena persiapan dan proses penulisannya saja memakan waktu bertahun-tahun.
  • Saya paling suka saat dr. Andry mendapat kesempatan bertanya, yang seolah mewakili pertanyaan saya sebagai pembaca: “Sebenarnya apa lagi yang Prof. cari? Hampir semuanya sudah berhasil Prof. raih. Prof. adalah salah seorang dokter yang sangat terpandang di Makassar bahkan di tanah air. Kenapa harus selalu menyusahkan diri setiap kali terjadi bencana, tanyanya. “Ada kebahagiaan tersendiri saat kita bisa ikut membantu mereka yang sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan di daerah bencana. Kebahagiaan itu tidak bisa dinilai dengan uang,” ucap Idrus menjawab pertanyaan muridnya, (halaman 178). Jawaban itu membuat dr. Andry sangat hormat pada gurunya. Membaca bagian ini, sebagai pembaca saya sangat salut dengan sosok Prof. Idrus, beliau begitu senang membantu orang yang dalam kesulitan, dan itu sungguh sangat mulia. Sebagai dokter, beliau siap siaga memberikan pertolongan kepada yang membutuhkan, utamanya saat terjadi bencana alam maupun konflik. Sangat menginspirasi sekali.
  • Masing-masing bab memiliki cerita yang menarik dan banyak pelajaran yang bisa diambil dari dedikasi beliau yang selalu datang ke lokasi bencana-bencana yang terjadi maupun konflik. Jiwa beliau yang sangat pemberani rupanya tak pernah membuat beliau jera, meski seringkali beliau pun mengalami kesulitan dalam menolong para korban, seperti keadaan rumah sakit yang lumpuh total, atau bahkan mengalami berbagai kerusakan saat terjadi gempa. Beliau tetap berusaha keras berjuang untuk menolong para korban.
  • Judul di setiap bagian menurut saya juga sangat menarik, misalnya: bermimpi dengan hati berjuang dengan akal, menularkan semangat kemanusiaan, sebuah pelajaran dari negeri sakura, kritik pedas berbuah rektor, bikin penasaran baca ceritanya.
  • Kemudian adanya dokumentasi foto-foto menolong saya sebagai pembaca untuk melihat berbagai kejadian selama Prof. Idrus menjalankan misinya di wilayah bencana alam maupun wilayah yang sedang terjadi konflik.

Tidak saja berkisah tentang jejak perjalanan Prof. Idrus dalam bidang kemanusiaan , dalam buku ini juga menceritakan kiprah Prof. Idrus dalam bidang pendidikan. Beliau juga selama 4 tahun menjabat dekan dan berhasil merubah wajah Fakultas Kedokteran UNHAS menjadi lebih asri, cerah dan berseri, serta didukung dengan kualitas sarana, prasarana dan sumber daya dosen. Perubahan kurikulum ternyata berdampak positif bagi mutu pendidikan di fakultas sehingga Fakultas Kedokteran UNHAS berhasil mendapat akreditasi A, sejajar dengan fakultas UI, UGM, dan Unair. (halaman 139). Di masa kepimpinannya, beliau pun berhasil menghapus budaya tawuran yang seringkali terjadi di kalangan para mahasiswa, misalnya bentrok antara satu fakultas dengan fakultas lain dalam sebuah universitas.

Idrus menilai bahwa Sulawesi Selatan akan kehilangan satu generasi jika terus membiarkan mahasiswa di Makassar lebih banyak melakukan aksi unjuk rasa di jalanan, ketimbang berkonsentrasi pada pendidikannya, (halaman 206)

Berikut ini beberapa kalimat favorit saya dalam buku Dokter di Medan Lara:

  1. Lakukanlah kebaikan sekecil apapun karena kamu tidak tahu kebaikan mana yang menghantarkanmu menuju ke Syurga—Prof. Idrus (halaman x)
  2. Jangan pernah menghitung apa yang telah kau berikan, tapi ingatlah apa yang kau terima.
  3. Apapun masalahmu jangan pernah MENYERAH, apapun rintangan TETAP BERTAHAN, badai akan berlalu Mentari akan bersinar. Masih ada Allah yang kuasa. (halaman xi)
  4. Jalan Tuhan belum tentu yang TERCEPAT, bukan pula yang TERMUDAH, tapi sudah pasti yang TERBAIK. (halaman xiv)
  5. Melihat begitu banyak korban yang berjatuhan setiap hari, perasaan Idrus menjadi sangat terenyuh. Hatinya teriris melihat kenyataan bahwa nyawa manusia melayang sia-sia untuk suatu persoalan yang tidak jelas ujung pangkalnya. Harga nyawa manusia sudah terlalu murah untuk membayar toleransi yang telah hilang. Warga telah berubah menjadi brutal dan kejam, karena yang dijadikan musuh adalah saudara mereka sendiri. Ada begitu banyak pengalaman yang menyesakkan hati yang telah didapatkan oleh Idrus dan timnya. Mereka nyaris tak sanggup menghadapi kenyataan bahwa jiwa manusia telah menjadi korban yang sia-sia. (halaman 82)
  6. Tetapi keberuntungan rupanya selalu berpihak kepada orang yang memiliki niat baik… (halaman 165)
  7. Saat menggotong kardus air mineral itu di basecamp dr. Andry kembali teringat kata-kata bijak mentornya: “Bila niat kita baik, pasti ada orang lain yang akan menolong kita.” (halaman 182)
  8. Pengalaman melaksanakan misi-misi kemanusiaan di tengah korban bencana alam maupun konflik antar manusia, memberi pelajaran bagi Idrus bahwa peran dokter bedah sangatlah penting. (halaman 185)
  9. Kasus tersebut cukup mengganggu Idrus. Dia merasa kecolongan dengan kehadiran dokter yang dinilai ‘tidak berpengalaman.’ Karenanya, Idrus lalu memberlakukan aturan yang lebih ketat terhadap penempatan tim medis di setiap rumah sakit. “Dari sini saya mendapat pelajaran berharga bahwa dalam kondisi darurat bencana, harus ada tim khusus yang melakukan registrasi serta mencatat berapa personil tim medis yang datang, apa spesialisasi dari setiap personil dan apa yang akan dilakukan oleh tim medis yang datang membantu. Sehingga dalam menempatkan tim-tim medis ke rumah sakit sudah benar-benar terarah dan sesuai dengan kebutuhan,” jelas Idrus. (halaman 193)
  10. Hope is the only thing stronger than fear. (halaman 243)
  11. Tapi Idrus selalu berpegang kuat pada prinsip bahwa pada setiap niat baik, selalu ada jalan keluar. (halaman 246)
  12. If you do not challenge yourself, you will never realize what you can become. Success does not just come and find you, you have to go out to get it. (halaman 255)
  13. Tak pernah ada penolakan dari Idrus bila permintaan itu menyangkut misi kemanusiaan, untuk menyelamatkan banyak jiwa. Itulah sebabnya, tanpa menunda-nunda waktu, hari itu juga Idrus berangkat ke Aceh, dengan persiapan yang sangat singkat namun matang. (halaman 259)
  14. Difficult roads often lead to beautiful destinations. Sometimes the wrong choiches bring us to the right places. (halaman 264)
  15. Dengan optimis Idrus meyakinkan seluruh anggota tim bahwa bila itikad mereka baik dan tulus, maka selalu ada pihak yang akan membantu biaya tim. Bahkan saat itu Idrus mengatakan bila memang, tidak ada bantuan dana, maka dirinya siap mengeluarkan biaya dari koceknya sendiri … (halaman 269)
  16. Sabar itu pahit, jujur itu pahit, ikhlas itu sangat pahit, namun semua yang pahit menyembuhkan segala macam penyakit.

Sebetulnya, saya ingin sekali merekomendasikan buku ini kepada siapa pun yang suka membaca buku biografi. Karena buku ini sangat bagus, tidak hanya isinya, tapi juga dibalik kisah dan sosok Prof. Idrus sendiri. Sosok yang sangat sederhana, namun inspiratif dan begitu besarnya apa yang telah beliau berikan dan lakukan untuk para korban bencana dan konflik. Bahkan saya  rasa, ini bisa jadi salah satu bacaan wajib mahasiswa Fakultas Kedokteran di seluruh Indonesia, agar terinspirasi dari kiprah beliau sebagai dokter yang aktif dalam bidang kemanusiaan. Setelah saya bertanya pada Mas Sili Suli di manakah membeli buku ini, apakah sudah tersedia di toko buku? Sayangnya, menurut info dari Mas Suli buku ini tidak dijual kepada publik. Berarti buku ini limited edition, saya pikir. Saya merasa sangat beruntung dan bersyukur alhamadulillah pernah membaca buku ini.

Happy reading! 📚📖😊

With Love , ❤️

SUBSCRIBE AISAIDLUV

16 thoughts on “[Review Buku] DOKTER di MEDAN LARA Karya Sili Suli dan Hurri Hasan

  1. Sili Suli

    Review yang sangat menarik dan menggugah hati. Terima kasih banyak Mbak Ai. Sukses selalu dan tetap stay home. Semoga badai corona cepat berlalu dan Ibu Pertiwi bisa tersenyum bebas kembali

    Liked by 1 person

    1. Iya mba Sondang, saya juga setuju. Kutipan-kutipannya sangat menyentuh dan memotivasi. Terima kasih sudah berkenan membaca review-nya. Stay safe and stay healthy mba Sondang sekeluarga 🙏😊

      Liked by 1 person

    1. Terima kasih sudah membaca review-nya Mba 🙏
      Setuju mba, inspiring banget bukunya.
      Kalau mba Phebie mau baca bukunya, saya pinjemin 😊
      Nanti bisa kirim via jne

      Like

      1. Sama-sama, Mba. Siap Mba. Selamat menikmati buku-buku yang belum dibaca, happy reading Mba Phebie. 📚
        Saya juga masih banyak tumpukan buku tahun lalu, pelan-pelan dibaca, meski kadang suka tertunda begitu ada buku baru 😁

        Like

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s