“Biar kau tahu Ikal, orang-orang seperti kita tak punya apa-apa, kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi itu!” … Tanpa mimpi orang-orang seperti kita akan mati. –Arai pada Ikal (halaman 143)
Judul Buku : SANG PEMIMPI
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : Cetakan pertama, Juli 2006. Cetakan ke-43, Agustus 2018
Halaman : 247 halaman | ISBN: 979-3062-92-4
Baca : review Laskar Pelangi karya Andrea Hirat
Sebetulnya saya sudah baca buku ini beberapa tahun lalu, hasil pinjaman hehe. Namun ketika ngabuburead di Kinokuniya, pas lihat buku ini, langsung muncul ide, kayaknya saya harus koleksi buku ini. Maka buku ini akhirnya saya miliki, kemudian saya baca ulang, dan surprisingly saya seperti baru baca bukunya lagi! Begitulah, kalau saya suka dengan bukunya, saya rela baca ulang, mengalahkan antrian daftar buku yang belum saya baca! Nah, bagi yang sudah membaca buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, maka bisa melanjutkan dengan membaca buku kedua dari tetralogi Laskar Pelangi, yang berjudul Sang Pemimpi. Apakah kamu suka dan sudah baca semua tetralogi Laskar Pelangi? Kalau belum silahkan tuntaskan, kalau sudah mari bernostalgia bersama saya. Dalam buku ini, berkisah tentang tiga remaja yang dililit kemiskinan namun memiliki impian untuk melanjutkan sekolah. Meskipun mereka harus jauh dari keularga dan tinggal bersama satu kos di Pulau Belitong. Pada pukul dua pagi mereka sudah bangun dan bekerja. ketiga remaja SMA Bukan Main bermimpi untuk melanjutkan sekolah hingga ke Perancis menjelajah Eropa hingga ke Afrika. Para pemimpi itu adalah Ikal, Arai dan Jimbron. Ikal dan kedua temannya, Arai dan Jimbron adalah tiga remaja yang begitu nakalnya sehingga mereka sangat dibenci oleh Pak Mustar, tokoh antagonis dalam buku ini, yaitu seorang Wakil Kepala SMA Bukan Main itu sendiri. Namun beda halnya dengan sang Kepala Sekolah, Pak Balia adalah cermin guru teladan. Pak Belia-lah yang telah memberikan mimpi-mimpi kepada murid-muridnya terutama kepada Ikal, Arai dan Jimbron. “ Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Perancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara: Sorbonne. Ikuti jejak-jejak Satre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra, dan seni hingga merubah peradaban…”, (halaman 61) itulah kata-kata yang sering diucapkan Pak Balia untuk memompa semangat para muridnya.
Sebagai anak-anak yang sejak sekolah dasar diajarkan untuk menghargai ilmu pengetahuan dan seni, aku, Arai, dan Jimbron sungguh terpesona pada Pak Balia. Bagiku, dia adalah guru dari surga setelah Bu Muslimah di sekolah Laskar Pelangi dulu. … Pak Balia selalu tampil prima karena dia mencintai profesinya, menyenangi ilmu, dan lebih dari itu; amat menghargai murid-muridnya! Setiap representasi dirinya, dia perhitungkan dengan teliti sebab dia juga paham bahwa di depan kelas dia adalah centre of universe, dan dia sadar bahwa yang diajarkannya sastra, muara segala keindahan. (halaman 59)
Pada saat itulah, aku, Arai dan Jimbron mengikrarkan satu harapan: kami ingin dan harus sekolah di Prancis! Ingin menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Begitu tinggi cita-cita itu. Mengingat keadaan kami yang amat terbatas, semuanya tak lebih dari impian saja. Tapi, di depan tokoh karismatik seperti Pak Balia, semuanya seakan mungkin! Pak Balia mengakhiri session sore dengan menyentak semangat kami. “Bangkitlah, wahai para pelopor! Pekikkan padaku kata-kata yang menerangi gelap gulita dadamu! Kata-kata yang memberimu inspirasi. (halaman 62)
Arai menurut Ikal adalah anak yang memiliki karisma apalagi di matanya, mungkin itu sebagai kompensasi karena nasibnya. Ia juga memiliki hati yang lembut, suka menolong tanpa banyak bicara, sering memberi kejutan, idenya selalu nyeleneh, dia adalah seniman sehari-hari. Meskpiun ia tak begitu rupawan, tapi dia memiliki otak yang cerdas dan selalu ingin tahu. Arai juga sering menolong Ikal dan selalu membesarkan hatinya. Pernah dulu Ikal memakai model rambut belah tengahnya Koes Plus dengan sangat konyol dan ditertawakan oleh abang-abangnya, tapi Arai tetap membelanya. Bahkan Arai pernah memarahinya karenan kesalahan Ikal sendiri. “Kita takkan pernah mendahului nasib!”, “Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati…”, itulah kata-kata yang diucapkannya kepada Ikal saat Ikal berhenti untuk bermimpi dan bercita-cita sehingga nilainya merosot jauh.
Arai ini adalah anak yang menurut orang Melayu disebut “simpai keramat”, yaitu keturunan terakhir dari suatu klan karena orang tua Arai sudah meninggal. Arai mulai diasuh keluarga Ikal karena memang masih punya hubungan darah yang cukup jauh. Ketika itu dia masih seusia Ikal yaitu kelas 3 SD di suatu sore yang mengiriskan hati. Bagaimana tidak, usia semuda itu sudah menerima nasib setragis itu, namun dia menerimanya dengan tabah. Sampai-sampai Ikal dan ayahnya tidak kuat menahan tangis, malahan Ikal yang seharusnya menghibur Arai malah dihibur oleh Arai. Nasib Jimbron nyaris sama dengan Arai, malah lebih memprihatinkan. Menurut Ikal, siapa saja yang melihat Jimbron akan merasa ingin melindunginya, apalagi tahu jika ia gagap dalam berbicara. Saya suka dengan kisah persahabatan diantara mereka bertiga, sangat menyentuh sekali. Kesetiaan dan kepedulian Arai yang seringkali memiliki banyak kejutan, membuat hubungan mereka sangat dekat satu sama lain meskipun hidup dalam kemiskinan, mereka selalu berjuang dan berusaha keras.
Baca: Resensi Si Anak Badai karya Tere Liye
Yang paling menyentuh, saat Ikal menghantarkan Ayah menuju kursi 75 hasil prestasinya yang melorot, padahal sebelumnya selalu berada di garda depan. Ikal bertekad untuk memperbaiki prestasinya di satu semester terakhir sebelum kelulusan SMA, agar prestasinya berada di garda depan lagi. Suka banget sama karakter Ayah yang sedikit bicara, namun karismanya begitu dicintai dan dihormati oleh Ikal dan Arai. Ketika bagian Ikal mengejar sepeda Ayah dan rasa sesalnya atas prestasi yang diperoleh, ini beneran menyayat hati. Namun, belasan tahun jadi anaknya, aku belajar bahwa pria pendiam sesungguhnya punya rasa kasih sayang yang jauh berlebih dibandingkan pria sok ngatur yang merepet saja mulutnya (halaman 76). Kedua orantuaku adalah rakyat Indonesia yang tak tersentuh pendidikan. Orang seperti mereka tak pernah dikenal oleh menteri pendidikan, Tapi, apa yang mereka lakukan selama dua hari demi mengambil raporku, cukuplah bagiku untuk menunjukkan arti pendidikanku bagi mereka.” (halaman 78-79). Saat menerima undangan kepada orang tau untuk mengambul rapor, Bapak menempuh perjalanan sejauh 30 km dengan menggayuh sepeda.
Baca : resensi buku Komet Minor, Komet, Ceros & Batozar
Buku yang sangat inspiring untuk para pemimpi yang sedang berjuang mengejar dan mewujudkan impiannya. Taka da batasan dalam bermimpi, siapa pun bisa bermimpi, tak peduli asal kita dari mana. Selama masih memiliki impian, sikap optimis, maka impian bisa jadi kenyataan. Seperti perjuangan Arai dan Ikal, serta Jimbron yang meskipun tidak ikut belajar ke Perancis, tapi dua celengan yang diberikan kepada Ikal dan Arai, mewakili impian Jimbron juga. “Ambillah … Biarlah hidupku berarti. Jika dapat kuberikan lebih dari celengan itu akan kuberikan untuk kalian. Merantaulah … Jika kalian sampai ke Prancis, menjelajah Eropa sampai ke Afrika, itu artinya aku juga sampai ke sana, pergi bersama kalian.” (halaman 204). Dalam kisah ini juga tidak hanya menyajikan kisah yang sedih melulu, tetap ada unsur humorisnya juga, apalagi pas bagian Ikal, Arai, dan Jambron mendapat hukuman disuruh acting film yang mereka tonton, asli bagian ini kocak dan mengocok perut! >.< 😀
Fiksi ini disajikan dengan bahasa yang indah dan mampu menyihir pembaca sehingga pembaca bisa ikut merasakan kebahagiaan, semangat keputusasaan dan kesedihan. Tapi selain itu buku ini juga memiliki lelucon-lelucon yang tidak biasa, cerdas dan pasti akan membuat pembaca tertawa. Andrea Hirata memiliki pribadi yang cerdas dalam mengolah kata-kata dan memiliki wawasan yang sangat luas. Walaupun buku ini disebut sebagai buku kedua dari tetralogi Laskar Pelangi, tapi tidak ada hubungannya dengan buku yang pertama, Laskar Pelangi. Buku ini berdiri sendiri karena bukan sambungan dari kisah Laskar Pelangi. Buku ini sudah diangkat ke layar lebar beberapa tahun yang lalu.
Baca : review buku Anak Rantau karya A. Fuadi
Berikut ini beberapa kalimat favorit saya dalam buku Sang Pemimpi:
- Agaknya dia juga bertekad memerdekakan dirinya dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. Dia telah berdamai dengan kesedihan dan siap menantang nasibnya. (halaman 23)
- Sejak melihat aksi Arai di bak truk kopra tempo hari, aku mengerti bahwa dia adalah pribadi yang istimewa. Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia sangat muda, dia berjiwa besar. Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum pada kepribadian dan daya hidupnya. Kesedihan hanya tampak padanya ketika dia mengaji Al-Quran. Di hadapan kitab suci itu, dia seperti orang mengadu, seperti orang yang takluk. Seperti orang yang lelah berjuang melawan rasa kehilangan pada seluruh orang yang dicintainya. (halaman 26-27)
- Setelah pulang sekolah, jangan harap kami bisa berkeliaran. Mengaji dan mengaji Al-Quran sampai khatam berkali-kali. Kalau tamat SD belum hafal Juz ‘Amma, siap-siap saja dimasukkan ke dalam beduk dan beduknya dipukul keras-keras sehingga ketika keluar berjalan zig-zag seperti ayam mabuk. (halaman 47)
- … tapi Tuhan mencatat dan Tuhan akan membalas. Persis tulisan seseorang sastrawan: Tuhan tahu, tapi menunggu. (halaman 53)
- “Setiap peristiwa di jagat raya ini adalah potongan mozaik. Terserak di sana sini, tersebar dalam rentang waktu dan ruang. Namun, perlahan potongan itu akan bersatu membentuk bak montase Antoni Gaudi. Mozaik-mozaik itu akan membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu, apa punyang kau kerjakan dalam hidupmu akan bergema dalam keabadian.” (halaman 60)
- “Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaikmu.” (halaman 61)
- “Kaum Muda, yang kita butuhkan adalah orang-orang yang mampu memimpikan sesuatu yang tak pernah diimpikan siapa pun! John F. Kennedy (halaman 62)
- Orang Melayu senang menyapa orang meskipun tak kenal. (halaman 79)
- Pada momen ini, aku dan Jimbron memahami bahwa persahabatan kami yang lama dan lekat lebih dari saudara, berjuang senasib sepenanggungan, bekerja keras bahu membahu sampai keringat terakhir untuk sekolah dan keluarga, tidur sebantal, makan sepiring, susah senang bersama, ternyata telah membuahkan “maslahat” yang tak terhingga bagi kami. Persahabatan berlandaskan cinta kasih nan ikhlas itu telah merajut ikatan batin yang demikian kuat dalam kalbuku. Saking kuatnya sampai memiliki tenaga gaib penyembuhan. (halaman 128)
- Namun, tak pernah kusadari bahwa sikap realistis itu sesungguhnya mengandung bahaya sebab ia memiliki hubungan dekat dengan rasa pesimis. Realistis tak lain adalah pedal rem yang sering menghambat harapan orang. (halaman 133)
- Pahamkah engkau bahwa berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia. (halaman 137)
- “Kita lakukan yang terbaik di sini! Kita akan berkelana, kita akan menjelajah Eropa sampai ke Afrika! Kita akan sekolah ke Prancis! Kita akan ke Sorbonne! Apa pun pengorbanannya! Apa pun yang akan terjadi! (halaman 143)
- “Lelaki positif mencerna setiap usulan, memikirkannya dengan lapang dada.” (halaman 164)
- … dan untuk membangun kembali semangatku, aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku membuka lagi buku Seandainya Mereka Bisa Bicara, buku kenangan dari A Ling. (halaman 169)
- “Jangan pernah pulang sebelum jadi sarjana,” pesan Bu Muslimah, guru SD-ku. Di sampingnya, Pak Mustar mengangguk-angguk. Mereka tersenyum ketika kami menyalami mereka karena mereka tahu itu pertanda kami menerima tantangan itu. (halaman 206)
- “Kalau kalian bisa bertahan di kapal, kalian akan mampu bertahan di Jakarta.” Pesan Mualim pada Ikal dan Arai (halaman 211)
- Aku tak pernah mau diremehkan oleh siapa pun, apa pun. Aku telah melewati masa-masa sulit untuk mendudukan diriku pada satu posisi agar aku bisa bersaing vis a vis menghadapi siapa pun dalam kompetisi mana pun. Aku telah berusaha, hasilnya adalah nasib yang berada di tangan Yang Mahatinggi. (halaman 240)
- Betapa kami adalah para pemberani, para patriot nasib. Kaki kami tenggelam dalam lumpur sampai ke lutut, namun tak pernah surut menggantungkan cita-cita di angkasa: ingin sekolah ke Prancis, ingin menginjakkan kaki miskin kami di atas altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai Afrika. Tak bisa ditawar-tawar. (halaman 244)
Baca : review buku Everyhing in Between
Berikut ini buku-buku Andrea Hirata yang sudah di review:
- Review Buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata
- Review Buku Sang Pemimpi karya Andrea Hirata
- Review Sirkus Pohon karya Andrea Hirata
- Review buku Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata
Happy reading! 📚 📖😊
With Love, ❤️💙

Dulu baca ini pas zaman SMA. Masa-masanya galau persoalan kuliah dimana. Bener-bener bikin semangat dan penuh haru:’)
LikeLiked by 1 person
Buku yg sangat inspiratif ya, Kak.
Buktinya Kak Nae dapat beasiswa LN 👍👏
Semoga akan ada beasiswa berikutnya dan berikutnya lg seperti penulisnya. Semoga dapat beasiswa S2, S3 dan LN kak. Masih semangat ngelanjutin kuliah Kak? 😊
LikeLike