Judul Buku : ANAK RANTAU
Penulis : A. Fuadi
Penerbit : PT. Falcon Interactive
Tahun Terbit : Cetakan pertama, Mei 2019
Halaman : 370 halaman
“Novel ini paket lengkap spesial. Ada cerita tentang keluarga yang mengharukan, persahabatan, lingkungan hidup, bahkan juga tentang penjelasan pemberontakan besar di masa lalu lewat sudut pandang yang berbeda. Bacalah. Kalian akan merasakan petualangan seru.” —Tere Liye, penulis
“Anak Rantau mengajak kita menjenguk ulang makna keluarga, persahabatan, akar budaya. Bak hidangan Minang yang gurih dan bikin menagih, karya A. Fuadi ini elok dibaca dan renyah dinikmati.” —Dee Lestari, penulis
“Lebih berwarna dari Negeri 5 Menara. Melalui karya terbarunya ini, Fuadi menunjukkan sebuah upaya untuk terus memperluas batas kemampuan dan imajinasinya sebagai seorang pencerita.” —Okky Madasari, penulis
Buku yang saya baca ini merupakan cover terbaru dari buku Anak Rantau yang terbit tahun 2017. Buku ini mendapat penghargaan sebagai Fiksi Terbaik Islamic Book Award 2019. Berbeda dari buku trilogi Negeri 5 Menara yang sudah saya baca. Kalau buku-buku sebelumnya karya Ahmad Fuadi ini seakan diajak melalang buana ke berbagai tempat, namun lewat buku ini saya seakan diajak pulang ke kampung halaman setelah merantau di Ibukota, bagaimana menyesuaikan diri dengan kehidupan di kampung dengan adat dan budaya Minang, kisah tentang persahabatan juga hubungan keluarga yang mengharukan, dan dikemas dengan apik.
Dalam buku ini, mengisahkan karakter utamanya Hepi, pemilik nama lengkap Donwori bihepi yang dipaksa pulang oleh ayahnya ke Tanjung Duren di Sumatera Barat, ia dititipkan kepada Kakek dan Neneknya di kampung halaman tempat Martiaz, ayahnya Hepi dilahirkan. Awalnya ia merasa dendam pada ayahnya karena ditinggal begitu saja di kampung, dan terpaksa meninggalkan kehidupan di kota Jakarta. Meskipun tidak mudah bagi Hepi, lama kelamaan dia bisa menyesuaikan dan berdamai dengan diri sendiri atas keputasan sepihak tersebut. Dan cerita pun mengalir, Hepi sekolah SMP dan tinggal bersama Kakek dan Nenek, kemudian ia pun pernah tinggal disurau bersama kawan baiknya Zen dan Attar juga Kakek dan Nenek yang saat itu sedang merenovasi rumah. Kakeknya ingin kembali menghidupkan surau seperti saat dulu masih anak-anak, sekaligus mendidik cucunya Hepi agar tidak seperti ayahnya.
Baca: Resensi Buku Si Anak Badai karya Tere Liye
Saya suka dengan petualangan Hepi bersama Zen dan Attar, serta bagaimana dia memecahkan masalah juga menguak misteri tentang Pendeka Luko. Hingga akhirnya membongkar kasus narkoba yang telah merusak warga di kampungnya. Ada kejutan-kejutan menarik, yang membuat buku ini terasa manis dan jangan sampai dilewatkan untuk dibaca. Buku ini mewakili untuk mereka yang merasa ditinggalkan, merasa terbuang, dan menginginkan kesempatan kedua. Mereka yang menyimpan dendam dan belajar untuk menerima dan memaafkan, serta berdamai dengan masa lalu. Kalau dilihat dari judulnya, sekilas mungkin akan terpikir ini cerita anak yang merantau ke kota, namun setelah membacanya buku ini justru sangat menarik, karena kisahnya tentang anak kota yang merantau ke kampung halaman orang tuanya.
Baca juga : Serial Anak Nusantara karya Tere Liye
Melalui buku ini, apa yang ingin disampaikan penulis tidak sekedar hubungan rantau-kampung, tetapi tentang luka-obat, dendam-rindu, serta kekuatan memaafkan dan melupakan. Buku yang menarik, dan saya suka.
Baca juga : Resensi novel Komet Minor, Komet, Ceros & Batozar
Berikut ini beberapa kalimat favorit saya dalam buku Anak Rantau:
- Sejarah mencari jalannya untuk mengulangi peristiwa-peristiwa. (halaman 56)
- Nasihat orang-orang tua di kampung sudah menebus alam bawah sadar mereka: “hidup berakal, mati beriman.” (halaman 85)
- “Kalau dulu saja manusia purba sudah bisa melintasi separuh dunia, apalagi kalian ini manusia modern dari ranah Minang, tentu bisa memutari dunia berkali-kali,” katanya penuh semangat. (halaman 86)
- “Menolong sesama makhluk hidup itu kan ajaran agama dan berpahala.” (halaman 89)
- Ini bukan salah adat, ini salah oknumnya. Adat Minang kita selamanya kekal, indak lapuak diujan indak lakang dek paneh, dibubuik indak layua diinjak indak mati, tidak lapuk oleh hujan tidak lekang oleh panas, dicabut tidak layu, dipindah tidak mati. Dengan adat yang sama sudah terbukti selama ini dari rahim ranah Minang lahir orang-orang besar bangsa ini. Lihat Bung Hatta, Sjahrir, Haji Agus Salim, Hamka, semua lahir dari adat yang sama. (halaman 95-96)
- … “Kalau iya banyak. mana sekarang? Ada di mana mereka? Kenapa tidak bisa sepeti zaman para pemimpin negara ini dikuasai urang awak. Para penulis dan sastrawan dari Minang, para pemimpin agama, dan buya dari kita pula. Mana sekarang?” … Ada generasi baru yang siap muncul. Sedang berkecambah. Tinggal menunggu waktunya. Sabarlah sedikit, Angku. (halaman 100)
- “Berkawan itu dengan siapa saja. Mereka perlu dibantu, ya kita bantulah. Sebaliknya juga begitu, kita juga akan dibantu.” (halaman 106)
- … Ingin sekali dia bisa mengamalkan kata-kata yang didengarnya dari obrolan di lapau tentang gaya sebagian orang Minang: takaruang nak di lua, taimpik nak di ateh, terkurung maunya di luar, terimpit maunya di atas. (halaman 141)
- Dia percaya kombinasi ilmu agama dan adat ini adalah bekal penting seorang anak Minang untuk hidup. (halaman 145)
- Diawal latihan Kakek berpesan: “pasanglah niat baik-baik di hati kalian. Silat Minang ini bukan untuk kalian berkelahi. Sebaliknya. Lahia silek mancari kawan. Batin silek mancari Tuhan. Selain lahirnya, silat itu untuk mencari kawan. Secara batinnya, silat itu untuk mencari Tuhan.” (halaman 147)
- Lengkapi dengan ilmu hidup. Makanya, teruslah kalian menuntut ilmu di mana saja dengan memakai cara orang Minang seperti di petitih ini: Nan satitiak jadikan lawuik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru. Yang setetes jadikan laut, yang sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadi guru.” (halaman 149)
- “Sebagai orang Minang, kalian wajib memahami sumpah sakti nenek moyang kita di Bukit Marapalam dahulu kala. Begini bunyinya: ‘adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak mengata, adat memakai’. Maknanya, adat Minangkabau itu merujuk pada agama dan agama merujuk pada Al-Quran. Agama yang memberikan fatwa, adat yang melaksanakannya. Antara agama dan adat itu tidak untuk dipertertangkan, tapi saling bersandar satu sama lain. Kalian amalkan agama, tapi kalian hormati pula adat istiadat kita yang kaya ini. Adat yang baik kita pakai, yang buruk kita buang.” (halaman 163)
- “Mungkin kamu masih hijau untuk mengerti, tapi tetap dengar sajalah dulu. Menurut saya, maju mundur kampung kita ini ditentukan oleh cara orangtua mendidik dengan baik, tentulah anak dan masyarakat akan baik. Tapi kalau orang tua lengah-lengah saja, maka rusaklah anak mereka, rusak pula kampung ini. Orangtua itu ibarat tonggak negeri. (halaman 168)
- Inilah tonggak Minang: ninik mamak, cerdik pandai, dan ulama. Kombinasi yang hebat karena melibatkan tokoh penting dan semua lapisan masyarakat. (halaman 205)
- Dia suka kutipan dari Bung Karno, “Bebek berjalan berbondong-bondong, tetapi elang terbang sendirian.” (halaman 229)
- … Kalau merasa ditinggalkan, jangan sedih. Kita akan selalu ditemani dan ditemukan oleh yang lebih penting dari semua ini. Resapkan ini: kita tidak akan ditinggalkan Tuhan. Jangan takut sewaktu menjadi orang terbuang. Takutlah pada kita yang membuang waktu. (halaman 255)
- Menyelamlah ke pedalaman dirimu. Temukan mustikamu di dalam sana. Lambat laun setelah kenal dirimu kau akan pahami pula siapa Dia, pemegang kunci segala nasib itu. Begitu kau kenal Dia, nasib hanyalah debu. Sedang Dia adalah segalanya. (halaman 256)
- “Luka lama aku. Untuk mengobati dan mengikhlaskan apa yang sudah lalu. Aku tidak kuasa mengubah yang lalu, tapi aku bisa mempermudah hari ini dan masa depan.” (halaman 259)
- Lewat karakter Pandeka Luko, kita diajak untuk mengetahui bagaimana obat luka hati, mendendam, mengingat kesalahan masa lalu, dan obatnya hanya satu yaitu dengan: memaafkan! … Dia sedang mengobati lukanya dengan maaf dan membebatnya dengan puisi.
merdekakan jiwa
merdekakan pikiran
dari penjajahan pribadi yang kita buat sendiri-sendiri
dari amarah dan dendam
maafkan, maafkan, maafkan
lalu mungkin lupakan
Pandeka Luko, halaman 263
20. “Aku pernah berperang karena dendam dan marah. Akibatnya sangat menyakitkan hati, baik ketika menang apalagi kalah. Karena itu jangan berbuat apa pun karena dendam dan marah, tapi bertindaklah karena melawan ketidakadilan.” (halaman 273)
Selengkapnya, silahkan baca bukunya.
Happy reading! 📚 📖😊
With Love, ❤️💙
