[Review Buku]: Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata | Indonesia’s Most Powerful Book 

🌈❤️🌈💙🌈❤️🌈💙🌈❤️🌈💙🌈❤️

Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama.  Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya.  (halaman 24)

Judul Buku          : LASKAR PELANGI
Penulis                 : Andrea Hirata
Penerbit               : Bentang Pustaka
Tahun Terbit  : Cetakan Pertama, September 2005.  Cetakan Ketiga Puluh Sembilan, September 2017
Jumlah Halaman  : xvi + 532 halaman: 20,5 cm

“I am fascinated by [Andrea]’s capacity to write … a work inspired by where he comes, … such a talented young writer._Thomas Keneally, the aouthor of Schindler’s Ark, filmed by Stephen Spielberg aas Schindler’s List, an Oscar winning movie.

“Andrea Hirata has written an endering, simple, and conversational prose ….  inspiring story.” __The Guardian UK

“The first Indonesian novel to find its way into the international general fiction market.” __The Sydney Morning Herald

Sinopsis:

Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota Laskar Pelangi. Sebelas orang anak Melayu Belitong yang luar biasa ini tak menyerah walau keadaan tak bersimpati pada mereka. Tengoklah Lintang, seorang kuli kopra cilik yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu bahkan terkadang hanya untuk menyanyikan Padamu Negeri di akhir jam sekolah. Atau Mahar, seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus. Dan juga sembilan orang Laskar Pelangi lain yang begitu bersemangat dalam menjalani hidup dan berjuang meraih cita-cita. Selami ironisnya kehidupan mereka, kejujuran pemikiran mereka, indahnya petualangan mereka, dan temukan diri Anda tertawa, menangis, dan tersentuh saat membaca setiap lembarnya. Buku ini dipersembahkan buat mereka yang meyakini the magic of childhood memories, dan khususnya juga buat siapa saja yang masih meyakini adanya pintu keajaiban lain untuk mengubah dunia: pendidikan.

Baca: Resensi Buku Si Anak Badai karya Tere Liye

Kali ini, saya ingin bernostalgia dengan salah satu buku terbaik yang pernah saya baca.  Membaca lagi buku ini, tetap menyajikan perasaan yang sama, seperti ketika pertama kali saya membacanya beberapa tahun yang lalu.  Bedanya, saat saya membaca cetakan ke sembilan belas, belum banyak endorsment.  Namun kini di cetakan ketiga puluh sembilan, ternyata banyak yang istimewa, seperti  kemenangan diajang International, seperti Winner General Fiction New York Book Festifal 2013 USA, Winner Buchawards 2013 Germany, diterjemahkan di dalam puluhan bahasa.  Kesan pribadi saya terhadap buku ini, saya senang menjadi salah satu penggemar dari buku Tetralogi Laskar Pelangi.  Dari ke empat buku tersebut, semuanya bagus, tapi yang paling spesial menurut saya tentu saja Laskar Pelangi.  Dari bebepa fiksi karya penulis Indonesia, Laskar Pelangi ini  salah satu yang menuai pujian dari dunia luar (nanti selesai menulis bagian-bagian favorit dari buku ini, saya akan tuliskan pendapat para endorsement yang pernah membaca buku ini.  Sebagai pembaca, saya bersyukur pernah membaca buku yang inspiratif ini, buku yang memompa semangat dan melecut diri bahwa apa pun yang saya impikan, saya bebas dan berhak memimpikannya.  Karena impian tidak dibatasi oleh keadaan dan dari mana kita berasal.  Siapa pun dari kita, boleh dan tentu saja bisa bermimpi.   Laskar Pelangi pun seakan membawa saya ke dalam dunia masa kecil.  Ayo, kita lihat sisi menarik dari buku ini ❤️

Baca juga: Resensi buku Komet Minor, Komet, serta Ceros dan Batozar karya Tere Liye

Perkenalan saya dengan buku ini, justru setelah menonton film yang sangat fenomenal di jamannya yaitu Laskar Pelangi (2008).  Ternyata, membaca bukunya juga seolah dapat merasakan adegan-adegan kehidupan kesepuluh Laskar Pelangi bersama kedua guru yang luar biasa hebat yaitu Bu Mus dan Pak Harfan. 

Laskar Pelangi merupakan novel pertama karya Andrea Hirata.  Buku autobiograpi ini diangkat dari kisah nyata,masa kecil penulisnya di Belitong.  Buku ini tercatat sebagai buku sastra Indonesia terlaris sepanjang sejarah.

Buku ini dipersembahkan penulis untuk Gurunya Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendi Noor, juga kesepuluh sahabat masa kecil penulis, anggota Laskar Pelangi. 👍 Kesepuluh Laskar Pelangi (nama yang diberikan Bu Muslimah akan kesenangan mereka terhadap pelangi ), terdiri dari : Ikal, Lintang, Mahar, Trapani, Sahara, A Kiong, Harun, Syahdan, Kucai, Borek.  Dari kesembilan temannya Ikal (Andrea Hirata), hanya dua orang temannya yang diceritakan dalam bab khusus, yaitu Lintang dan Mahar. 

Cerita terjadi di desa Gantung, Belitung Timur. Dimulai ketika sekolah Muhammadiyah terancam akan dibubarkan oleh Depdikbud Sumatera Selatan, jika tidak mencapai siswa baru sejumlah 10 anak. Ketika itu baru 9 anak yang menghadiri upacara pembukaan, akan tetapi tepat ketika Pak Harfan, sang kepala sekolah, hendak berpidato menutup sekolah, Harun dan ibunya datang untuk mendaftarkan diri di sekolah kecil itu.

Baca: review buku Di Adalah Kakakku

Dari sanalah dimulai cerita mereka. Mulai dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan Pak Harfan, perkenalan mereka yang luar biasa. Kejadian bodoh yang dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes keras oleh Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta pertama Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km pulang pergi dari rumahnya ke sekolah.

Mereka, Laskar Pelangi, sempat mengharumkan nama sekolah dengan berbagai cara. Misalnya pembalasan dendam Mahar yang selalu dipojokkan kawan-kawannya karena kesenangannya pada okultisme yang membuahkan kemenangan manis pada karnaval 17 Agustus, dan kegeniusan luar biasa Lintang yang menantang dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah kaya PN yang berijazah dan terkenal, dan memenangkan lomba cerdas cermat. Laskar Pelangi mengarungi hari-hari menyenangkan, tertawa dan menangis bersama. Kisah sepuluh kawanan ini berakhir dengan kematian ayah Lintang yang memaksa Einstein cilik itu putus sekolah dengan sangat mengharukan 😭😭😭 dan dilanjutkan dengan kejadian 12 tahun kemudian di mana Ikal yang berjuang di luar pulau Belitong kembali ke kampungnya. Kisah indah ini diringkas dengan mengharukan oleh Andrea Hirata, kita bahkan bisa merasakan semangat masa kecil anggota sepuluh Laskar Pelangi ini.  Selain itu banyak menyajikan hal-hal kocak.  Bagian yang mengocok perut saya, tentu saja pada saat Mahar si jenius dibalik ide cemerlangnya dalam menampilkan maha karyanya di acara karnaval ternyata merupakan ajang ia balas dendam pada kawan -kawannya 😂  Dan bagian yang paling mengharu biru tak sanggup membendung butiran kristal di pelupuk mata saya, bagian paling sedih saat Lintang berpamitan kepada Ibunda guru dan kawan-kawannya, bahwa ia tidak bisa melanjutkan sekolah setelah ayahnya meninggal  😭😭😭😭😭😭

Banyak nasehat yang bisa saya pelajari dari novel ini. Hidup yang terbatas bukan berarti hambatan untuk berhenti mengejar ilmu. Bagian yang sulit dipercayai bahwa anak-anak sekecil mereka sudah mampu memahami kondisi dan mengambil pilihan dengan bijak. Hidup yang sederhana dan terbatas, pengetahuan dan pemahaman orang tua yang sangat awam bukan berarti harus melewati hari-hari dengan suram. Dalam hal ini terkadang penulis menyisipkan humor, yang ingin menyampaikan segetirnya hidup semuanya tetap dijalan dengan nikmat.

Baca: review buku Anak Rantau Karya A. Fuadi

SUBSCRIBE AISAIDLUV

Berikut ini kalimat-kalimat favorit dan menginspirasi dari buku LASKAR PELANGI 🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈: 

  1. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami. (halaman 3)
  2. Hal yang tak akan pernah kulupakan adalah bahwa pagi itu aku menyaksikan seorang anak pesisir lemarat –temanku sebangku-untuk pertama kalinya memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya, setiap apa pun yang ditulisnya merupakan buah pikiran yang gilang gemilang, karena nanti ia-seorang anak miskin pesisir-akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur hidupku. (halaman 15)
  3. …. tulisan itu berbunyi amar makruf nahi mungkar artinya “menyuruh kepada yang mungkar.” Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah.  Kata-kata itu melekat dalam kalbu kami sampai dewsa nanti.  (halaman 19)
  4. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syair Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya.  (halaman 21)
  5. Beliau menorehkan benang merah kebenaran kehidupan yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami untuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun.  Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita.  Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama.  Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya.  (halaman 24)
  6. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Keindahan yang tak’kan kutukar dengan sirubu kemewahan sekolah lain.  (halaman 25)
  7. BU MUS, adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. …Dasar-dasar moral itu menurut kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dala konteks islam.  Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadaran pribadi.  (halaman 30)
  8. “Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami. …. Tapi jika yang megucapkannya Bu Mus, kata-kata iu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung-dengung di kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlambat shalat. (halaman 31)
  9. Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah mengeluh, tidak, tidak sedikit pun kami tak pernah mengeluh. Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan   tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.  Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual.  Mereka yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi munkar sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat.  Mereka adalah ksatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan.  Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami.  Pohon ini meneduhi kami dan dialah saksi seluruh drama ini.  (halaman 32)
  10. Sifat lain Sahara yang amay menonjol adalah kejujurannya yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Ia pantang berbohong. Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobar-kobar, tak satu pun dusta akan keluar dari mulutnya. (halaman 75)
  11. Sejak kecil aku tertarik untuk menjadi pengamat kehidupan dan sekarang aku menemukan kenyataan memesona dalam sosiologi lingkungan kami yang ironis. (halaman 84)
  12. Di sekolah ini aku memahami arti keikhlasan, perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu, perintis perguruan ini mewariskan pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar Islam  yang mulia, keberaniaan untuk merealisasi ide itu meskipun tak putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani hidup dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain melalui pengorbanan tanpa pamrih.  (halaman 85)
  13. Dan sembilan teman kelasku memberiku hari-hari yang lebih dari cukup untuk suatu ketika di masa depan nanti kuceritakan pada setiap orang bahwa masa kecilku amat bahagia. Kebahagiaan yang spesifik karena kami hidup dengan persepsi tentang kesenagan sekolah dan persahabatan yang kami terjemahkan sendiri.  (halaman 85)
  14. Hari demi hari semangat Lintang bukan semakin pudar tapi malah meroket karena ia sangat mencintai sekolah, mencintai teman-temannya, meyukai persahabatan kami yang mengasyikan, dan mulai kecanduan pada daya tarik rahasia-rahasia ilmu. Jika tida di rumah ia tak langsung beristirahat melainkan segera bergabung dengan anak-anak seusia di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra.  (halaman 95)
  15. Anak cucunya tidak diwarisi kekuasaan dan kekayaan tapi kebajikan, syariat Islam, dan kecendekiawan. Maka Lintang sesungguhnya adalah pewaris darah orang-oramg pintar masa lalu.  (halaman 98)
  16. Belajar adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari.  Jika berhadapan dengan buku, ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap kata yang diucapkan para cerdik cendikia, ia melirik maksud tersembunyi sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang lain.  (halaman 100)
  17. Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang dan dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. (halaman 105)
  18. Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak pengumpul kerang ini pintar sekali.  Matanya menyala-nyala memancarkan intelegensia, keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan.  Jarinya tak pernah berhenti mengacung tanda ia bisa menjawab.  (halaman 105)
  19. Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pintar lalu bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan tak punya integritas.  Tapi Lintang sebaliknya.  Ia tak pernah tinggi hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habisnya. (halaman 108)
  20. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap rangkaian kata yang dituliskannya secara acak-acakan tersirat kecemerlangan pemikiran yang gilang gemilang.  Di balik tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau hangus, dia memiliki an absolutely beautiful mind.  Ia adalah buah akal yang jernih, bibit jenius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga yang tak satu pun bisa membaca.  (halaman 109)
  21. Dan ternyata jika hati kita tulus berada di dekat orang berilmu, kita kan disinari pancaran pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian mudah menjalar. (halaman 111)
  22. Namun, sahabatku Lintang memiliki hampir semua dimensi kecerdasan. Dia seperti toko serba ada kepandaian.  Yang paling menonjol adalah kecerdasan spasialnya, sehingga ia sangat unggul dalam geometri multidimensional.  Ia dengan cepat dapat membayangkan wajah sebuah konstruksi suatu fungsi jika digerak-gerakkan dalam variabel derajat.  (halaman 114)
  23. “Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan, paham? Ini bukan masalah bahasa yang sulit tapi masalah cara berpikir.  (halaman 116)
  24. Belajar kata terlebih dahulu, bukan belajar bahasa, itulah inti paradigma belajar bahasa Inggris versi Lintang. Sebuah ide cemerlang yang hanya terpikirkan oleh orang-orang yang memahami prinsip-prinsip belajar bahasa.  Dengan paradigma ini aku mengalami kemajuan pesat, bukan hanya karena aku dapat mempelajari bahasa Inggris dengan bantuan nalogi bahasa Indonesia, tapi petuahnya mampu melenyapkan sugesti kesulitan belajar bahasa asing yang umum melanda siswa-siswa daerah.  Bahwa bahasa, baik lokal maupun asing, adalah permainan kata-kata, tak lebih dari itu.  (halaman 117)
  25. Yang lebih menakjubkan adalah semua pengetahuan itu ia pelajari sendiri dengan membaca bermacam-macam buku milik kepala sekolah kami jika ia mendapat giliran tugas menyapu di ruangan beliau. Ia bersimpuh di balik pintu ayun, semacam pintu koboi, menekuni angka-angka yang bicara, bahkan dalam buku-buku bahasa Belanda.  (halaman 119)
  26. Lintang adalah seorang cerdas yang rendah hati dan tak pernah segan membagi ilmu. (halaman 122)
  27. “Lintang mampu menjawab semua pertanyaan matematika melalui paling tidak tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu cara. Dan ia menunjukkan padaku bagaimana menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah sedikit pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap.  Aku sudah tak bisa lagi mengatasi anak pesisir ini.”  (halaman 123)
  28. Dan tak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain mendapatkan seorang murid yang pintar. Kecemerlangan Lintang membawa gairah segar di sekolah tua kami yang mulai kehabisan napas, megap-megap melawan paradigma materialisme sistem pendidikan zaman baru,…..Lintang dengan segala daya tarik kecerdasannya adalah gemerincing tamborin yang nakal, matra dalam rima-rima gurindam yang itu-itu saja.  Dia ikan lele yang menggeliat dalam timbunan lumpur beku kemarau sekolah kami yang telah bosan dihina.  Tubuhnya yang kurus menjadi siku-siku yang menegakkan  kembali tiang utama perguruan Muhammadiyah yang bahkan belum tentu tahun depan mendapatkan murid baru.  (halaman 123-124)
  29. Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa diundang.  (halaman 127)
  30. Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranah Tagore Junior yang berkumpul. Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing.  Tanpa mereka, kelas kami tak lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang mencoba belajar tulis rangkai indah itu di atas kertas bergaris tiga.  (halaman 140)
  31. Imajinasi Mahar meloncat-loncat liar amat mengesankan. Sesungguhnya, seperti Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku belum pernah menjumpai seseorang dengan kecerdasan dalam genre seperti ini.  (halaman 146)
  32. Keadaan ini diperparah lagi dengan ketidakmampuan kami mengapresiasi karya-karya seninya. Sehingga beberapa karya hebatnya malah mendapat cemoohan.  Kenyataannya adalah kami tidak mampu menjangkau daya imajinasi dan pesan-pesan abstrak yang ia sampaikan melalui karya-karya tersebut.  Kami selalu membesar-besarkan kekurangannya ketika sebuah pertunjukkan gagal total, tapi jika berhasil kami jarang ingin memujinya.  Mungkin karena masih kecil, maka kami sering tidak adil padanya.  (halaman 155)
  33. Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan.  Tak tahu siapa diantara kami yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu kehadiran lukisan langit menakjubkan itu.  Karena kegemaran kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi. ….. “Tahukah kalian…,” katanya sambil memandang “Pelangi sebenarnya adalah sebuah lorong waktu!” (halaman 160-161)
  34. KAMI, orang-orang Melayu, adalah pribadi-pribadi sederhana yang memperoleh kebajikan hidup dari para guru mengaji dan orang-orang tua di surau-surau sehabis salat magrib. Kebajikan itu disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima gurindam. (halaman 162)
  35. Sejarah menunjukkan bahwa buruh kasar timah itu punya integritas, mereka hidup eksklusif dalam komunitasnya sendiri, tak usil dengan orang lain, memiliki etos kerja tinggi, jujur, dan tak pernah berurusan dengan hukum. Lebih dari itu, mereka tak pernah lari dari utang-utangnya.  (halaman 165)
  36. Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Bagitu banyak seniman bagus yang hidup di antara orang-orang buta seni.  Lingkungan umumnya tak memahami mereka dan lebih parah lagi, tanpa beban berani memberi komentar seenak udelnya.  (halaman 189)
  37. “Bukan karena karyamu tidak bermutu, dalam bekerja apa pun kita harus memiliki disiplin.” Aku rasa pandangan ini cukup adil.  Sebaliknya, aku dan kami sekelas tidak mengganggap keunggulan dalam nilai kesenian sebagai momentum lahirnya seniman baru di kelas kami.  Seniman besar kami tetap Mahar, the one and only.  (halaman 190)
  38. …..Wanita ini memili aura yang melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku,….. tatapan mata karismatik menyejukkan sekaligus menguatkan hati, sepert tatapan wanita-wanita yang telah menjadi ibu suri.  Jika menerima nasihat dari wanita bermata semacam ini, semangat pria mana pun akan berkobar.  (halaman 210)
  39. “Karnaval ini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sekolah kita ini masih eksis di muka bumi ini. Sekolah kita  adalah sekolah Islam yang mengedepankan pengajaran nilai-nilai religi, kita harus bangga dengan hal itu!” (hamana 222)
  40. Tapi begitulah seniman bekerja. Dia melakukan semacam riset, mengkhayal dan berkontemplasi.  (halaman 223)
  41. “Kalian akan tampil dalam kareografi massal suku Masai di Afrika. (halaman 225)
  42. Ide Mahar bukan saja baru dan yahud dari segi nilai seni tapi juga aspiratif terhadap kondisi kas sekolah. Ide yang sangat istimewa.  (halaman 226)
  43. Hasil akhirnya adalah sebuah drama seru pertarungan massal antara manusia melawan binatang dalam alam Afrika yang liar, sebuah karya yang memukau, masterpiece   (halaman 229)
  44. Tak disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian itulah yang sesungguhnya sentral ide seluruh kareografi   Tak ada seorang pun yang menduga bahwa pada untaian anak-anak kalung itu Mahar menyimpan rahasia terdalam daya magis penampilan kami, yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam.  Sesungguhnya kalung itulah puncak tertinggi kreativitas Mahar.   Kalung itu dibuat dari buah pohon aren yang masih hijau sebesar bola pingpong yang ditusuk seperti sate dengan tali rotan.  (halaman 233)
  45. Mereka tak sadar bahwa kami menderita berat karena gatal dan gerakan kami tak ada hubungannya dengan Moran, cheetah dan bunyi-bunyian tabla yang memecah gendang telinga. (halaman 245)
  46. Kami tak melihat ketika penonton memberikan standing applause selama tujuh menit. Kami tak menyaksikan guru-guru kami menangis karena bangga.  Aku kagum kepada Mahar, ia berhasil memompa kepercayaan diri kami dan dengan kepercayaan diri ternyata siapa pun dapat membuat prestasi yang mencengangkan.  Hal itu dibuktikan oleh sekolah Muhammadiyah yang mampu mematahkan mitos bahwa sekolah kampung tidak mungkin menang melawan sekolah PN dalam karnaval.  (halaman 246)
  47. ……Yang kami tahu hanyalah bahwa Mahar telah membalas kami dengan setimpla karena pelecehan kami kepadanya selama ini. Buah-buah aren itu sungguh merupakan sebuah rancangan kalung etnik properti adibusana kareografi yang bernilai seni, hasil perenungan Mahar berjam-jam sambil memandang langit di bawah pohon   (halaman 248)
  48. Mahar membalas kami sekaligus merebut penghargaan terbaik , sekali tepuk dua nyamuk tumbang. Pria muda yang nyeni itu memang jenius luar biasa, dan baginya pembalasan ini maniiiis sekali, semanis buah bintang.  (halaman 248)
  49. “Ya Allah, cita-citaku adalah menjadi seorang penulis atau pemain bulu tangkis, tapi jika gagal jadikan aku apa saja kalau besar nanti, asal jangan jadikan aku pegawai pos. Dan jangan berikan aku pekerjaan sejak subuh.”  (halaman 278)
  50. Setelah tiga jam mendaki kamu tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak jelas rasa puas pada setiap orang, sebuah ekspresi “telah mampu menaklukan”.  Aku yakin perasaan inilah yang memicu sikap obsesif setiap pendaki profesional untuk menaklukan atap-atap dunia.  Kiranya daya tarik mendaki gunung berkaitan langsung dengan fitrah manusia.  (halaman 289)
  51. … Desa kecil itu bernama Edensor. Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot menggambarkan keindahan Edensor.  “Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti berguling-guling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua …. Pergunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah luas… (halaman  333)
  52. Ketika ia bercerita tentang padang sabana yang terhampar di Bukit Derbyshire yang mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan hatiku yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dari desa tenang dan cantik itu. Aku telah jatuh hati dengan Edensor dan menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku setiap kali aku ingin lari dari kesedihan. ……. A Ling meninggalkan buku Herriot untuku tentu karena sebuah alasan yang jelas.  Selanjutnya, aku membaca buku Herriot berulang-ulang sehingga hampir hafal.  (halaman 334)
  53. Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan raga. Edendor memberiku alternatif guna memecah penghalang mental agar tak stres berkepanjangan karena terus menerus terpaku pada perasaan patah hati.  A Ling telah memberi racun cinta sekaligus penawarnya.  (halaman 335)
  54. Dan aku senang sekali memeliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot. (halaman 342)
  55. Cita-cita adalah kutub magnet yang menggerakkan jarum kompas di dalam kepalaku dan membimbing hidupku secara meyakinkan. Setelah selesai merumuskan masa depanku itu sejenak aku merasa menjadi manusia yang agak berguna.  (halaman 342)
  56. Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar biasa yag menyihir kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain meskipun kamis dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matematikawan.  Jika ini tercapai, ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan, indah sekali.  (halaman 344)
  57. Membaca buku ini rasanya aku ingin memeluk penulisnya.” (halaman 347)
  58. Seorang sahabat pernah mengatakan bahwa guru yang pertama kali membuka mata kita akan huruf dan angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung tak ‘kan putus pahalanya hingga akhir hayatnya. Aku setuju dengan pendapat itu.  Dan tak hanya itu yang dilakukan seorang guru.  Ia juga membuka hati kita yang gelap gulita. (halaman 350)
  59. “Melawan guru sama hukumnya dengan melawan orang tua, durhaka! Siksa dunia yang segera kau terima adalah burut! (halaman 352)
  60. Pembangkangan bukanlah hal yang biasa di perguruan kami. Kami tak pernah sekali pun sengaja menyatakan pembangkangan, kami bahkan memanggil guru kami ibunda guru.  (halaman 355)
  61. Uang itu memiliki nama yang sangat asing bagi kami: uang saku. Sesuatu yang seumur-umur tak pernah kami dapatkan dari orang tua kami. (halaman 358)
  62. Sekolah ini adalah jembatan jiwa baginya. (halaman 359)
  63. Persoalan klasiknya adalah kepercayaan diri. Inilah problem utama jika berasal dari lingkungan marginal dan mencoba bersaing.  (halaman 364)
  64. Baginya inilah adalah peristiwa terpenting selama lima belas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar menginginkan kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu lomba ini sangat penting artinya bagi sekolah kampung seperti Muhammadiyah.  Wajahnya kusut menanggung beban, mungkin beliau juga telah bosan bertahun-tahun selalu diremehkan.  (halaman 369)
  65. Lintang menyambar setiap soal tanpa memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain. (halaman 372)
  66. Ia tak terbendung, aku merinding melihat kecerdasan sahabatku ini. Peserta lain terpesona dibuatnya.  Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dari seorang anak Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir.  (halaman 373)
  67. Sedangkan Lintang, seperti yang pernah kuceritakan, anak ajaib kuli kopra ini, memiliki kemampuan yang mengagumkan untuk menebak isi kepala orang. (halaman 373)
  68. Melihat demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku. Sebuah senyum damai.  Aku tahu seperti biasa, ia dapat membaca pikiranku dengan benderang.  Ia membalas tatapanku dengan lembut seakan mengatakan, …. “Sabar, Dik, biar Abang bereskan persoalan ini …..”  Wajahnya tenang sekali.  Aku dan Sahara ciut.  Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan yang sakti mandraguna andalan kami ini.  (halaman 378)
  69. Dan aku girang tak alang kepalang, dugaanku terbukti! Rasanya aku ingin meloncat dari tempat duduk dan berdiri di atas meja mahoni mahal yang berusia ratusan tahun tu sambil berteriak kencang kepada seluruh hadirin: “Kalian tahu, ini Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara, orang pintar kawanku sebangku! Rasakan kalian semua!”  Sekarang ekspresi Sahara seperti loepard yang sedang mencabik-cabik predator pesaing, ia mengaum, alisnya bertemu seperti sayap elang, dan Lintang masih belum puas.  (halaman 381)
  70. Pak Harfan mengacungkan dua jempolnya tinggi-tinggi pada Lintang. “Barvo! Bravo!” teriaknya girang. Bu Mus, yang berpakaian paling sederhana dibanding guru-guru lain mengangguk-angguk takzim.  Ia terlihat sangat bangga pada murid-murid miskinnya, matanya berkaca-kaca dan dengan haru beliau berucap lirih, “Subhanallah … Subhanallah ….”(halaman 382)
  71. Aku terpaku memandang Lintang betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pada sahabatku ini. Dialah idolaku.  Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga pilea ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut-ingsut naik sepeda besar 80 kilometer setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan lagu “Padamu Negeri”.  Dan hari ini ia meraja di sini, di majelis kecerdasan yang amat dihormati ini.  (halaman 383)
  72. Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagaimana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai.  Keinginan kuat itu juga memunculkan kemampuan-kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban di luar perkiraan.  Siapa pun tak pernah membayangkan sekolah kampung Muhammadiyah yang melarat dapat mengalahkan raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tetapi keinginan yang kuat, yang kami pelajari dari petuah Pak Harfan sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya terbukti.  Keinginan kuat itu telah membelokkan perkiraan siapa pun sebab kami tampil sebagai juara pertama tanpa banding.  Maka barangkali keinginan kuat tak kalah penting dibanding cita-cita itu sendiri.  (halaman 382-384)
  73. Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya, tenang dalam kesahajaannya, bermartabat dalam kesederhanaannya, dan tenteram dalam kemiskinannya. (halaman 401)
  74. INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK KALIAN BERDUA, KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKA BUKU, BELAJAR! (Halaman 424)
  75. Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dengan wawasan dan kata-kata cerdas pamungkas untuk mengakhiri pertseteruan ini.  Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak batang hidungnya.  Tak ada kabar berita.  Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir.  (halaman 428)
  76. Aku rindu pada Lintang. Kelas tak sama tanpa Lintang.  Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya.  Suasana kelas menjadi sepi.  Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata cerdasnya, kami rindu melihatnya berdebat dengan guru.  Kami juga rindu rambut acak-acakannya, sandal jeleknya, dan tas karungnya.  (halaman 429)
  77. Ibunda guru, Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang.  …. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu.  Maka mereka berdua orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi.  (halaman 430)
  78. Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat diantara kami.  Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa dan pahlawan yang menganggakat derajat perguruan miskin ini.  Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang lalu.  Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya.  Dialah Newton-ku, Adam Smith-ku, Andre Ampere-ku.  (halaman 431)
  79. Lintang adalah mercusuar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudera.  Bagitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dari dirinya.  Di dekatnya kami terimbas cahaya yang masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingin tahuan, dan membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang rendah hati, tekad, dan persahabatan.  Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib, berani memiki cita-cita. (halaman 431)
  80. Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassiopeia yang meledak dini hari ketika orang-orang masih lelap dalam tidur. Cahaya ledakkannya menerangi angkasa raya, memberi terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang peduli.  Bagi meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup dalam hitungan mundur dan hari ini padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP.  Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya.  Hari ini seekor tikus kecil mati di lumbung padi yang berlimpah ruah.  (halaman 431-432)
  81. Sekolah, kawan-kawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya riuh rendah di pohon filicium sore ini lenggang.  Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkungan pendidikan.  Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan sekolah.  (halaman 433)
  82. Kini menjadi tangis bisu tanpa air mata, perih sekali. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatah pun kata perpisahan.  Kami semua sesenggukan.  Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya semerah saga.  Tak setitik pun air matanya jatuh.  Beliau ingin kami tegar.  Dadaku sesak menahankan pemandangan itu.  Sore itu adalah sore yang paling sendu di seantero Belitong, dari muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkapan Punai, dari Jembatan Mirang sampai ke Tanjong Pandan.  Itu adalah sore paling sendu di seantero jagat alam.  …. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan.  (halaman 433-434)
  83. Setiap titik yang aku singgahi dalam hidupku selalu memberiku pelajarab berharga. Sekolah Muhammadiyah dan persahabatan Laskar Pelangi telah membentuk karakterku.  A Ling, Herriot, dan Edensor telah mengajariku optimisme dan menunjukkan bahwa jalinan nasib dapat begitu menakjubkan.  (halaman 462-463)
  84. Aku beruntung sempat bertemu dengan beberapa orang yang sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh melebihi mereka. (halaman 470)
  85. Aku ingin membaca namanya di bawah jurnal ilmiah. Aku ingin mengatakan pada setiap orang bahwa Lintang, satu-satunya ahli genetika Indonesia, orang yang telah menguasai operasi pohon Pascal sejak kelas satu SMP, orang yang memahami filosofi diferensial dan integral sejak usia demikian muda, adalah murid perguruan Muhammadiyah, temanku sebangku.  (halaman 471)
  86. “Jangan sedih, Ikal. Paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan ….”  (halaman 472)
  87. NASIB, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena. Mereka yang gagal tak jarang menyalahkan aturan main Tuhan.  Jika mereka miskin mereka mengatakan bahwa Tuhan, melalui takdir-Nya, memang mengharuskan mereka miskin.  Bukti-bukti itu membentuk konspirasi rahasia masa depan dan definisi yang sulit dipahami sebagian orang.  Seseorang yang telah berusaha menunggu takdir akan mengubah nasibnya.  (halaman 475)
  88. TAHUN 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. (halaman 486)

Baca: review buku 99 Cahaya di Langit Eropa

TENTANG PENULIS

Andrea Hirata lahir di Belitong.  Novel pertamanya, Laskar Pelangi, telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa dan diterbitkan lebih dari 100 negara oleh peneerbit seperti Farrar, Straus and Giroux, Random House, HarperCollins, Penguin, Hanser Berlin, Planeta Madrid, Mercure de France, Rizzoli Italia, Sunmark Tokyo, Phoenix China, dan lain-lain.

The Rainbow Troops (Laskar Pelangi edisi Amerika) telah diadaptasi ke dalam bentuk kareografi oleh CityDance Company, Washington D.C.  Cerita pendeknya, “Dry Season”, diterbitkan di majalan sastra terkemuka Washington Square Review, New York University, winter/spring 2011.

Die Regenbogentruppe (Laskar Pelangi edisi Jerman) mendapat penghargaan BuchAwards 2013 di Jerman.  The Rainbow Troops menjadi  pemenang pertama kategori general fiction di New York Book Festival 2013.

Andrea Hirata Aktif dalam pendidikan dan pengembangan sastra.  Dia mengajar sebagai relawan.  Di Belitong, dia membuka sekolah gratis dan Museum Kata Andrea Hirata sebagai museum sastra pertama di Indonesia.  Selain Novel Laskar Pelangi, Andrea telah menulis karya lainnya seperti: Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, Padang Bulan, Cinta Dalam Gelas, Sebelas Patriot, Laskar Pelangi Song Book, Ayah, dan Sikrus Pohon.

www.andrea-hirata.com

www.museumkataandreahirata.blogspot.com

ENDORSEMENT FOR ANDREA HIRATA – THE RAINBOWS TROOPS.

Sumber:  buku Laskar Pelangi dan Sirkus Pohon

  • “This fine story about strength and resilience against the oods, and the power of hope… seems only a matter of time before a director bring this story to cinema in the West.” ‘__The Economist
  • “Andrea Hirata was written an endering, simple, and conversational prose…inspiring story.” __The Guardian UK
  • “Inspiring and closely autobiographical tale…Ikal and his band plucky cohorts face obstacles large and small, and the reader can’t help but roof for them to get the education, and life, they deserve. The setting is as compelling and memorable as the characters, and a rare window into a world we know little about.” __Harpers Collins
  • “From Indonesian, an inspiring, record-breaking best-seller and modern fairy tale.” __com
  • “Incredibly moving and full of hope, Rainbow Troops swept Indonesia off its feet, selling over five million copies and becoming the highest selling book in its history. It will sweep you away too.” __Penguin
  • “Andrea Hirata’s closely aouthobiographical debut novel […] promises to captive audiences accross the globe. This is classic storytelling in the spiri of Khaled Hossein’s The Kite Runner, an engrossing depicition of a milieu we have never encountered before, bursting with charm and verve.” __Farrar Straus and Gioux, New York
  • “From his shy smile to his frying jeans, there is a little else to indicate that Hirata is the literary megastar that he is.” __Pallavi Aiyar, Los Angeles Review of Books
  • “A brilliant narrator…” __Frankfurter Rundschanu, German Newspaper, February 18, 2013
  • “This aouthobiographical novel is a germ, a deeply moving shory about what it means to take his life in his hand and what hapiness can mean it to be able to learn.” __Buchmagazine, Germany
  • “The Rainbows Troops in a moving story written in a style that contradiction to the literary map of the world.” __Kolner Stadt-Anzeiger, Germany
  • “A modern fairy tale… With clear conflicts, big emotion and symphatetic types, but also with reality-saturated images and scenes that you’d never find any western novel-because its about different reality here.” __Tages-Anzeiger, Switzerland Newspaper
  • “Based on the experience of the Autrhor, The Rainbow Troops is the story of a childhood and overwhelming greatest advenrure: that the knowledge and emancipation,” __Olibri Network, Italy
  • “Andrea Hirata’s book The Rainbow Troops is highly interisting.” __Skylife, Turkish Airline in-flight magazine, April 2013
  • “Hirata speaks as he writes: short sentence, all we explained, great humility.”__iOnline, Portugal
  • “Indonesia’s greatest livng novelist.” __Byron Shire News, Australia
  • “The best selling Indonesian author of all time. __byorn-bay.com
  • “A wonderful stoey about student and teachers.” __The Sunday Times
  • “A rising star on Indonesia literary map.” __The Jakarta Post
  • “Novel Laskar Pelangi versi bahasa Jerman menarik perhatian publik Swiss. Malah untuk pinjam di perpustakaan saja, pembaca harus masuk waiting list.  Di toko buku tertentu juga kehabisan stok, untuk meminjam versi cakram padat (compact disk) yang di Swiss dikenal sebagai hoerbuch, karya Andrea Hirata ini harus dipsan jauh-jauh hari.  ‘Novelnya masih dipinjam orang,’ kata salah saorang petugas di perpustakaan Lucerne.” __Koran Sindo, 24 November 2013
  • “Tidak pernah ada yang bisa mengalahkan kekuatan cinta yang murni dan tulus. Cinta yang mendalam menebarkan energi positif yang tidak hanya mengubah hidup seseorang, tetapi juga menerangi kehidupan orang banyak. __Kompas
  • “Laskar Pelangi, salah satu dari 45 buku yang mempengaruhi Indonesia. __45 Buku Yang Mempengaruhi Indonesia, Media Indonesia
  • “I am fascinated by [Andrea]’s capacity to write […] a work inspired by he where comes from, [..] such a talented young writer.” __Thomas Keneally, the author of Schindler’s Ark, filmed by Stephen Spielberg as Schindlers List, an Oscar winning movie
  • “….Andrea Hirata’s The Rainbow Troops is such an upper remarkable narrative. This ia suc a major work-the most successful novel in Indonesia publishing that it will quickly become a cherished work for book clubs around the world.  I adore The Rainbow Troops.” __Charles R. Larson is Emiratus Professor of Literature at American University in Washington, D.C.
  • “A wonderful tale about what a pack of schoolkids, wto caring teachers and a powerful sense of hope can achieve. I love it.” __Vikas Swarup, the author of interational bestseller slumdog Millionare
  • “A book that not only warms the heart and lifts the spirit, but excites the mind as well. Truly, a page turner like no other.  Once you start reading about these terrific kids, the ‘rainbow troops’, and their extradiordinary young teacher, you just won’t be able to stop.” __Kate Veitch, the author of Listen and Trust
  • “Hirata’s writing ia a brilliant, beautiful, remarkable, and engrossing as the characters and the world he bring us. If you’ve ever been afraid to dream, or disbelieved in a the true power of learning, read The Rainbow Troops and you’ll changed by two guardians and their small numbers of student, whose intellegence and vibrancy will intoxicate you.  This is a treasure from one of the largest Muslim societies in the world.” __Ismael Beah, the author of international bestseller A Long Way Gone
  • “The Rainbow Troops is a charming, funny, moving story about growing up and going to school on the Island of Belitong in Indonesia. The Rainbow Troops are students in a poor, beleaguerred village school, run by a pair of courageous and generous teachers who protect and champion their tiny class.  I loved reading these stories about brave, smart, resourceful kids, set in a magical landscape that includes clouds, crocodiles, and shamans, as well as tin mining , politics, and regional school competitions.” __Roxana Robinson, the author of New York Times bestseller Cost
  • “The Rainbow Troops is a powerful work of the imagination, which explore love, friendship, and the importance of education with uncommon wisdom and wit …. a book of treasure!” __Christopher Merril, director of International Writing Program, Universityof Lowa, USA.
  • “A masterful story teller.” __Sarah Crichton, New York
  • “Laskar Pelangi is a love letter to a teacher and to the value of education. Reading this wonderful book is like sitting with Andrea Hirata in a tradisional coffee shop on his remote island home of Belitong, Indonesia.  In the tropical warmth we listen to his vivid recollections of the people he loved  and the times that made him.  Any kids who are taking their educational opportunities for granted should read this book.  It has the power to change  __Cynthia Webb, columnist,Australia (The Jakarta Post)
  • “I can think of no other book that has captured the hearts of so many Indonesians. The Rainbow Troops ia a heart-moving tale of the family, friendship, community and the inspiration to be foundin those who care. __Janet de Neefe, founder of Ubud Writers and Readers Festival.
  • “Herkesin anlatacak bir oykusu vardiir. Andrea kendi oykusunu son derece basit, sade ve insanim icine isleyen bir dille anlatnis. Kitaptaki karaterler olasilikla bir sekilde hepimizin yasaminda yer almis kisiler.  Umarim oykulerini antalacak onun gibi baskalaria da cikar.  [Everybody has a story to tell. Andrea has told his in a simple, plain and poignant style.  The characters in the book are the same as those who have possibly touched our own lives.  I just hope others follow in his wake to tell their own stories.]” __Murat Kayi, Turkish literature figure
  • [In this autobiograpical novel, Andrea Hirata tells us the fascinating story of a small group of students, Belitong islanders, who, with, the precious help of their professor, fight for a better future, boddly exercising their right to education. Written in clear and accessible prose, this truly inspiring book contains a universal message, captivating readers throughout the world and affirming the power of literature in its fullness.]”  __Joao Trinite, Editorial Presenca, Portugal.
  • “We are thrilled to have part of the global publication of The Rainbow Troops and look forward to more from Andrea. __Chiki Sarkar, Penguin
  • “The first Indonesian novel to find its way into the international general fiction market.” __The Sydney Morning Herald
  • “The Rainbow Troops has pun Indonesia under the spotlight of international literature. Judging from its impact on education hummanity and even livelihood, it’s more than just a literacy work, it’s a movement. __Elvira Amaral
  • “It is an inspiring book in every sense, and its characters remain in ypur mind a long time, and you feel that you don’t know the sort of difficulties they have lived. But this is not important, perhaps.  What is important that the writer was able to turn the biography into a novel, a work of art that touches the feelings and thought of all those who read the book.” __Amjad Nasser, novelist, poet, and literacy critic Jordania
  • “[The Rainbow Troops ia a novel that written in smooth poetric way, in which we find a conscious postmodern dismantling for the post-colonial era in Indonesia. In this novel, Andrea Hirata touched the taproot of the problem faced by Indonesia, in a brilliant way that turned his characters into models, and gave the novel its momentum and existential openness to humanitarian.]” __Ph. D. Linah Awad, Jordanian novelist and poet
  • “The Rainbow Troops so inspirational.” __Mila Rupcheva, Bulgaria
  • “The Rainbow Troops, having gone through numerous edition and published all over the world, has cemented its enviable place as a modern day classic. Andrea Hirata has written a book that has encapsulated modern Indonesian fiction at its very best.”__Ismail Bala, Nigerian poet
  • “Andrea Hirata, a man with a book chages an island (Belitong)__and more. What a story!” __Peter Kunz, Director of ZDF TV Germany for South and Southeast Asia

Wah, panjang sekali yaaa.  Ini book review terpanjang yang pernah saya tulis.  Tidak hanya saya pribadi yang memiliki kesan amat mendalam dengan buku ini, salah satu buku terbaik yang pernah saya baca, yang mungkin dengan senang hati akan saya wariskan kepada generasi penerus saya.  Yang lebih luar biasa dari buku ini yaitu mendapatkan sambutan dan pujian dari luar negeri.  Wow, super keren.  Jadi, jangan sampai lewatkan untuk membaca buku LASKAR PELANGI.  Highly recommended book! 👍👍👍

Berikut ini  buku-buku Andrea Hirata yang sudah di review:

Happy reading 📖 😊

With Love,❤️❤️

5 thoughts on “[Review Buku]: Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata | Indonesia’s Most Powerful Book 

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s