[Review Buku]: Bait – Bait Multazam karya Abidah El Khalieqy

  1. Aku mesti melakukan revolusi atas hidupku.  Aku ingin memaknai hidup dan mengukir sejarah dengan tinta emas.  Aku tak mau joging saja di tempat.  Aku tak mau dilupakan seperti angin lalu.  Aku juga tak mau menjadi “adanya seperti tak ada.”  Kuingin mengubah sia-sia!  Menjadi seribu makna!  (halaman 99)

Judul Buku         : BAIT-BAIT MULTAZAM
Penulis                 : Abidah El Khalieqy
Penerbit               : Bentang Pustaka
Tahun Terbit       :  Cetakan pertama, Agustus 2015
Jumlah Halaman: 334 halaman

Sinopsis:  

Hilya terpesona oleh perjuangan Henry Toga Sinaga.  Berawal dari wawancara, reporter itu larut dalam kisah sang mualaf.  Henry tumbuh bersama dera ,membuat hidupnya berada dalam gulita, sampai akhirnya cahaya ilahi memberi terang, menunjukkan jalan iman dan jalan islam.

Namun, menjadi mualaf barulah sebuah mula.  Di satu sisi, awal perjalanannya diiriingi dengan kebanggaan.  Tapi, di sisi lain, keputusannya itu membuat keluarganya marah.  Ia dianggap mengkhianati keluarga, tradisi, dan agama yang dianutnya sejak lahir.
Jalan baru yang ia tempuh bukanlah tanpa hambatan.  Imannya terus diuji, orang-orang yang dulu menyembutnya dengan hamdalah gegap gempita seolah tak pernah ada untuk membantunya.  Ia seperti sendiri.  Namun, ia terus melangkah, memperdalam agama bahkan hingga ke Suriah.  Bertahan dalam situasi karut-marut di sana.  Bersabar di tengah tatapan-tatapan curiga.
Hanya pada tali Allah ia berpegang.  Di sudut Multazam ia larungkan bait-bait doanya.  Dan, di Mekah pula untaian kisahnya diabadikan pena Hilya.

Saya baru pertama kali membaca buku dari penulis Abidah El Khalieqy.  Awalnya saya tidak tahu buku ini, berkat rekomendasi seorang sahabat blog saya, Kak Wi .  Saya pun searching, pas lihat covernya saja langsung menuju toko buku online dan order.  Terima kasih Kak Wi, buat rekomendasi bukunya.  Saya suka banget, dan di hari minggu yang sangat indah, saya pun membaca buku ini dalam sehari, dan melupakan latihan menulis, saking terpesona sama cerita dibuku ini. hehehe

Hilya Annisa. Penulis cantik muslim yang berasal dari Yogyakarta, melakukan perjalanan hajinya di Makkah. Sambil berhaji, tujuan lain ia berangkat ke Makkah adalah untuk melakukan wawancara dengan para pejabat Indonesia yang berada di kedutaan besar Indonesia di sana. Wawancara tersebut Hilya lakukan untuk nantinya dijadikan bahan pembuatan novel barunya. Selama hampir dua bulan berada di Mekkah, Hilya sudah menyelesaikan hampir  seluruh rukun hajinya,  dan begitu pula dengan bahan – bahan pembuatan novel barunya.  Hilya sudah mewawancarai hampir seluruh Kepala Panitia yang berurusan dengan penyelenggaraan Haji para penduduk Indonesia.

Tak  lama kemudian, akhirnya Nina, seorang teman sekamar Hilya memberitahu bahwa ada seorang pria yang berpotensi sebagai narasumber untuk bahan tulisannya. Akhirnya Hilya pun menemui pria tersebut,  sang mualaf. Nama asli pria tersebut adalah Henry Toga Sinaga, berasal dari Medan, dan terlahir sebagai Kristiani. Namun, kini namanya sudah menjadi Muhammad Henry Toga Sinaga, nama tersebut merupakan pemberian seorang ustadz yang telah mengislamkan dirinya. Awalnya, Hilya hanya berniat untuk menginterview sang mualaf tersebut, dan Henry pun dengan senang hati menjawab semua pertanyaan yang diajukan Hilya.

Henry menceritakan semua masa lalunya, proses kehidupan yang akhirnya membuat dirinya memeluk agama yang menurutnya memiliki ajaran yang mudah dipahami dengan logika. Tidak banyak cerita manis dari kehidupan Henry, piatu saat masih kecil dan yatim piatu pada saat dirinya beranjak dewasa seperti kisah kehidupan Rasul, memutuskan untuk hijrah ke Suriah setelah masuk Islam dengan niatan mencari ilmu namun ia malah disambut dengan letusan perang yang terjadi antara Suni dan Syi’ah, sampai kisah 3 kali ta’aruf yang Henry lakukan juga tidak terlewat ia kisahkan kepada Hilya. Hilya terhanyut dengan kisah sang mualaf.

Baca: Daun yang jatuh tak pernah membenci angin

Dari bab awal saja sudah disuguhkan tentang suasana Masjidil Haram. Saya paling suka di bagian bab perempuan idaman.  Duh karakter Hilya ini yah, ngegemesin 😆😆😆 bikin Henry nyaris putus asa menghadapi penyairnya yang muter-muter saat diajak ngobrol serius 😅😅😅

Setting dalam novel ini, di Makkah, Masjidil Haram, Jeddah, Madinah, Suriah di kota Damaskus dan Aleppo (bagian Jabal Qasiun, saya serasa lagi diajak jalan-jalan, hingga ke Gua Nabi Adam. Terus di Provinsi Sumatera Utara, tepatnya kota Medan.  Paling semangat kalau baca novel ada jalan-jalannya juga, serasa lagi diajak jalan-jalan (kalau kurang piknik biasanya saya suka baca buku atau artikel tentang jalan-jalan haha).  Bersyukur baca novel ini, romance dapat, terharu dapat, jalan-jalan juga dapat, wohoo!  Dan, yang keren adalah saya dapat pengetahuan juga tentang sejarah beberapa tempat.  Asli kalau belum ke Mekkah baca buku ini, bakalan mau ke Mekkah, dan kalau sudah pun, saya pengen lagiiiii!  Aamiin

Di bab-bab awal, membuat saya semakin rindu Masjidil Haram 😂😂 Beruntungnya alhamdulillah pas  baca buku Bait-Bait Multazam, saya dapat video dari Om yang tepat sedang berada di Masjidil Haram, beliau pun men-zoom Multazam saat merekamnya dari lantai atas.  Benar-benar pas banget momennya di hari minggu kemarin. Terus beliau juga men-tag saya di ig story-nya beliau, Multazam, Ka’bah dan Masjidil Haram yang masih dipenuhi jamaah haji, sebelum kepulangan mereka ke negaranya masing-masing. Bagaimana saya tidak merindu tempat tersebut 😂 ditambah ini novel islami bergenre romance ❤️ Senang karena ceritanya juga happy ending.  Suka sama karakter Hilya, aaaah gimana Bang Henry gak mumet juga menaklukan hati sang penyairnya ini.  Beruntung sekali Hil, status BBM Bang Henry akhirnya diganti dengan status yang lebih puitis tapi langsung memanah hati hanya untuk seorang wanita yaitu kamu! 😍😍

Ketika saya baca kisah Bang Henry masa kecil benar-benar sangat menyentuh dan mengharukan 😂 😂 Tapi bagian Hilya dan Henry sering bikin ketawa, kalau lagi ledek-ledekan, atau lagi acting jadi suami istri.  Yang paling seru kalau teman-temannya Hilya yaitu Nina and the geng kalau sudah mencie-ciekan, atau ketahuan sama mereka jalan bareng, tiba-tiba mereka ikut semobil, dan ngecengin mereka pas semobil, asli kocaaak! Selain itu, bikin ngiler juga kalau lagi kulineran, kasih tau referensi makanan lewat makanan yang dimakan mereka.  Ditambah saat proses wawancara yang dilakukan dibeberapa tempat, di Mekah, bikin saya penasaran.  Jadi pengen ngemol juga kayak Hilya haha Kecuali setting yang di Jeddah saya jadi terbayang kembali saat saya berada disana, laut merah, melihat sepeda Nabi Adam meski hanya lewat kaca mobil, terus mampir ke Corniche alias Balad, aha! Ada Toko Ali Murah disebut dimana saya pun melipir kesana 😆 Bedanya saya sama Hilya.  Saat itu sama keluarga, sementara Hilya sama Bang Henry, ehem! *mupeng*  Dan demi menghayati cerita di novel ini, saya pun rela mendengarkan untuk pertama kalinya lagu-lagu yang disukai Hilya, bahkan yang dinyanyikan Bang Henry.  Ternyata arti liriknya indah sekali ya, “duh mupeng lagi pas diacara malam perpisahan* 😀

Baca: Pride & Prejudice karya Jane Austine

Tentang Suriah, di novel ini juga diceritakan tempat-tempat yang bersejarah, dimana negeri para Nabi tersebut mungkin kini dikenal dengan terorisnya,  ketimbang dikenal sejarahnya dulu seperti apa, jangan sampai melupakan sejarah, meskipun keadaan saat ini berbeda dengan dulu.  Melalui buku ini, penulis seakan memberitahu dan mengingatkan saya, bahwa di negara tersebut juga mengukir sejarah tentang Jejak para Nabi.  Buat yang senang baca tentang hal bersejarah, suka jalan-jalan, suka kulineran arabian food (serius saya jadi kepengen nyobain makanan yang dimakan Hilya dan Henry seperti bruzzted dan banyak lagi😄), dan juga suka novel islami, buku ini recommended! 😊

Ini berupa screenshoot dari video yang dikirim om saya via grup keluarga. Om tidak tahu bahwa disaat yang sama, minggu 26 Agustus 2018, saya sedang membaca buku berjudul Bait-Bait Multazam. Tapi Allah SWT tahu, bahwa saya sangat merindukan tempat ini. Alhamdulillah momet yang indah. Baca buku bagus, dapat kiriman bagus dimana tempat ini merupakan setting utama dari buku yang saya baca.

Baca juga : review novel genre sejarah berjudul Rindu

Kalimat-kalimat favorit saya dalam buku Bait-Bait Multazam: 

  1. “……Tergantung momennya.  Bahwa ada banyak inspirasi, itu pasti.  Jika momennya tepat, nyamuk pun bisa sangat menginspirasi.”  (halaman17)
  2. Hilya Annisa mesti kuat dan tahan cuaca.  Jangan mudah risau oleh hujan dan terik sang surya.  Melangkah yang jauh, Hilya! (halaman 20)
  3. Aku jadi teringat sekian buku yang telah kutulis dengan gaya sastra tinggi, yang kupikir hanya akan diapresiasi oleh kalangan khusus dari para pecinta sastra dan para kritikus sastra ternyata khalayak umum sama mencintanya.  Semua buku itu bermula dari gagasan main-main, tetapi selalu kuiringi bersama doa.  (halaman 29)
  4. “Kalau peta emosi dan lekak-liku samudera hati, saya agak pakar juga, sih.  Eh, bukan ding, nyaris mendalam aja.  Saya di Psikologi, Bang.  Keliru pilihan.”  (halaman 35)
  5. “Untuk nyastra, idealnya semua disiplin ilmu harus dikuasai.  Tapi, psikologi ada di monor satu, prioritas utama.” (halaman 35)
  6. “Keberadaan saya di sini untuk Hilya.  Apa pun aktivitasnya.  Entar saya ikut pilihkan yang terindah, deh!”  “Oke! Semoga bertahan dan selamat bertahan, ya!”  “Yah.. hitung-hitung melatih kepekaan  dan coba tahu selera perempuan.  Maksud saya, sembari selami dan belajar bertahan dalam selera Hilya.”
  7. “Memang menyenangkan sekali jadi penyair itu, Bang.  Dunia menjadi begitu luas.  Bosan di bumi, kita bisa terbang kapan aja ke Mars atau Merkurius.  Bukan mahram dicurigai, kita bikin paspor ‘suami istri’ di taksi ini.  (halaman 41)
  8. “Hidup harus diisi.  Lakukan sesuatu.  Apa pun itu.  Tapi, jangan yang negatif.  Hidup hanya sekali, masa disia-siakan?  Nanti bisa jadi seperti kata orang, di dunia di cela, di akhirat masuk neraka pula!” (halaman 93)
  9. Lakukan apa pun yang positif untuk mengisi hidup.  Itu namanya mensyukuri nikmat Tuhan yang telah memberikan hidup.  Jika kita bersyukur, Tuhan akan membalas nikmat-Nya kepada kita.  (halaman 94)
  10. Barangkali, ada nasib lain yang disiapkan oleh Tuhan untuk masa depanku yang lebih gemilang. (halaman 94)
  11. “Jangan menjadikan hidup kita ini sepeti pepatah ‘mati sebelum mati’.  Tuhan menjadikan hidup bagi kita ini, kan, tidak main-main.  Banyak manusia yang telah membangkai sebelum mereka menjadi bangkai.  Mereka mati dalam hidup.  Tak ada perjuangan, tak ada keringat yang menetas.  Tak ada gerak, tak ada revolusi.  Hidup mereka joging di tempat.  Layu sebelum mengembang.  Mati sebelum mati.  Tak ada sejarah yang diukir.  Kelak hija mereka mati, sedetik kemudian menjadi terlupakan.  Tak ada yang mengingat seperti, embusan angin, lalu…. wuss!  Hilang!  Tanpa Bekas!”  (halaman 98-99)
  12. Aku mesti melakukan revolusi atas hidupku.  Aku ingin memaknai hidup dan mengukir sejarah dengan tinta emas.  Aku tak mau joging saja di tempat.  Aku tak mau dilupakan seperti angin lalu.  Aku juga tak mau menjadi “adanya seperti tak ada.”  Kuingin mengubah sia-sia!  Menjadi seribu makna!  (halaman 99)
  13. Bang Muhsin tak pernah mengajakku apalagi memprovokasiku untuk berganti keyakinan.  Ia hanya menjawab perntanyaan yang kuajukan dan memberi nasihat jika kuminta.  (halaman 101)
  14. Fisik yang ditonjolkan sama sekali tak menarik buatku.  Tak ada lagi misteri yang bisa dikuak, segalanya telah tampak, dan karena petualang suka menyibak.  Jadi, kubiarkan mereka pergi.  Sedikit kuusir karena hatiku tak mendesir.  Aku lebih suka perempuan yang berpikir.  (halaman 104-105)
  15. Kupikir sumber kegelisahan dalam hidupku adalah karena aku tak memiliki kepuasan secara batin dan intelektual dari apa yang selama ini kuyakini.  (halaman 108)
  16. Aku sedih tapi tak punya hak untuk menuntut apa pun.  Mungkin bersabar lebih baik daripada mengeluh.  Aku yakin Tuhan akan memberi jalan.  Seyakin esok pagi sinar mentari tetap datang.  (halaman 120)
  17.  Akan tetapi, semua telah berlalu dan kini tinggal melangkah ke depan dengan tetap menjaga stamina dan keseimbangan.  Aku tak pernah menyontek dan tak mau melakukan hal itu.  Lebih baik aku tak naik kelas atau keluar daripada berlaku curang.  Apalagi , yang tengah kupelajari adalah ilmu syariah.”  (halaman 142)
  18. Maka, kubisikkan ke dalam hati terdalamku, kata-kata pamungkas seperti ini. “Kalau dulu para sahabat Rasulullah sanggup menumpahkan darah dengan ikhlas untuk berjuang di jalan Allah, mengapa aku berat sekali hanya berjuang untuk melepas rokok yang tak berguna ini?  Dimana jihadku menuju jalan yang terang itu?”  Bersama itu, aku juga mengubah kebiasaan minum kopi dengan teh dan air putih saja.”  (Halaman 153)
  19. “Saat lahir, kita juga sendiri.  Dan, esok saat kembali, kita juga sendiri.  Hidup adalah siklus kesendirian.  Sunyi dan abadi dalam senyap.”  (halaman 157)
  20. Dan, kusimpan tangisku dalam dada.  Makin seruk mengaraminya, rasnaya bergalon-galon air mata terus bertambah simpanan di dada.  Aku tak kuasa mengeluarkan air mata karena pelakunya sendiri tak mengekspresikan air mata.  Ia tegak saja di jalan terjal itu, membuatku tersedot habis dalam tarian patriotik yang begitu elegan.”  (halaman 165-166)
  21. Artinya, baru sehari kenalan, tetapi rasanya telah setahun berkawan, bahkan mungkin lebih lama daripada itu.  Apakah kerena semuanya telah kudengar dan resapi, lalu kini aku menjadi bagian dari perjalanan itu?  Kemarin hanya berniat menyelam.  Siapa sangka kini malah karam.  (halaman 169)
  22. Tiap sunyi malam kugemakan doa Nabi Zakaria, Rabbi la tadzarni fardan wa anta khairul waritsin.  ”Tuhanku!  Jangan biarkanku sebatang kara tanpa teman dan Engkaulah ahli waris terbaik’. (halaman 217)
  23. Dimana-mana, kisah perantau memang seperti ini. Siapa yang lebih cukup, memang harus saling berbagi.  Melihat matamu bersinar, sudah lebih dari cukup buatku.  (halaman 217)
  24. Tak perlu membanding kawan-kawan yang telah menikah pada usia sepertiku ini.  Memang mereka telah bertemu jodohnya.  Untuk jodohku, Tuhan yang lebih tahu dan menyiapkannya dalam catatan abadi di lauh mahfuzh sana.  Aku mangamininya.  Seperti yakinku, bahwa usai musim dingin, akan datang pula musim semi yang penuh bunga.  (halaman 233)
  25. Aku pun beralih ke Henry dan mencoba wawancara tentang apa pun saja, sembari mengisi waktu dalam perjalanan ke Daker (daerah kerja), lumayan untuk tambahan materi tulisanku.  Itu pun kulakukan sembari santai seakan bukan wawancara biar memori mudah terbuka dan subjeknya tak merasa tengah diwawancara.  Ii adalah sebagian strategi yang selalu kugunakan untuk menghadapi para tokoh untuk tulisanku.” (halaman 241)
  26. “Hmmmm……., karna gratisan, jadi Abang tak berkenan, hahaha!” “Ah, masa! Memang maunya yang mahalan?  “Iya, nih, kayaknya.  Abang suka yang mahalan dan suka muter-muter kalau diajak bicara serius!”  (halaman 248) <—– pas bagian ini saya ketawa geliiiiii banget hahaha.  Lucu.
  27. Namun, rupanya derita panjang telah mengolah semuanya menjadi sesuatu yang matang.  Sesuatu yang patut diacungi jempol.  (halaman 254)
  28. … dalam hatiku mendesir sebuah rasa.  Andainya aku boleh memeluk suara itu hanya untukku seorang.  Merangkumnya untuk telingaku saja.  Andainya.  (halaman 254)
  29. kutemukan sisi lain dari yang pernah kuhayati dan tapaki.  Mungkin ia akan hilang ditelan sejarah.  Dengan teks yang kupahat huruf demi huruf, aku ingin ia abadi  dan menjadikannya abadi sepanjang masa.  (halaman 273)
  30. “Karena dia masa lalu yang tak perlu dikenang. Dan, Abang hanya ingin menatap masa depan yang lebih ceria, lebih cantik dan lebih idaman.  Hehem (halaman 299)
  31. “Dengar, ya.  Sebagai ganti foto-foto spesial itu, Abang tak menuntut apa-apa, kecuali satu saja.  “Yang dihapus hanya foto.  Tak apa.  Karena yang Abang inginkan hanya orangnya.  Jadi siap ya taarufan… (halaman 305)
  32. Innamal kauni li’ainaik rukya, wa anal layl wa intil qamar.  ‘Semesta dicipta untuk melihat hadirmu, aku malam dan kamu rembulan’. (halaman 321)
  33.  Eh, dah bangun rupanya, penyairku.  Iyalah untukmu.  Khusus untukmu.  Berikut semesta diri ini juga untukmu. Tentu jika engkau mau.  (halaman 322)

Recommend book! 📚

Happy reading! 📖

With Love, ❤️

24 thoughts on “[Review Buku]: Bait – Bait Multazam karya Abidah El Khalieqy

      1. “Saya susul ke lobi ya.”
        Sesampainya di lobi….
        “Yah…lapar banget nih!”
        😂😂

        Kak Wi, terima kasih buat infonya. Kalau gak dikasih tau kak Wi, saya bakal ketinggalan baca buku kece ini ❤️

        Like

      2. Hahahaha. “Ok. Kalau gitu kita cari makan dulu. Atau mau abang yang masakin?” Hohoho. Ups. 😂😂😂

        Gimana mba ai baca kisah henry yang makan biawak, ular dll bersama preman amplas medan? Serem ya. Hahahah.
        Atau yang “udah macam babi bau kau.” 😂😂😂😂
        Kalau dengar orang Medan ngomong kaget mba. 😂

        Hehehe. Sama2 mba ai. Senang kalau mba ai juga senang baca novelnya. 💙

        Liked by 1 person

      3. “Gak usah repot-repot Bang, kita keluar aja yuk, cari makan. Habis itu, saya lanjutkan wawancaranya!” *uhuk* 😆

        Serem banget kak 😭
        Yang saya salut dari karakter Henry, mampu memperbaiki masa gelapnya, yang suka minum, kemudian menjadi mualaf dan berhijrah. Perjuangan yg luar biasa. Bahkan salutnya, bisa mengendalikan diri berhenti merekok, minum kopi. Oh hidupnya sehat sekali 👍

        Iya kayaknya kak, saya bakalan kaget, karena belum terbiasa 😊
        Dulu waktu kelas 2 SMA, punya wali kelas orang Batak, seorang wanita baik hati dan tegas ❤️beliau yg bertanggung jawab sebagai pembina perpustakaan di sekolah. Kami saat pelajaran bahasa Indonesia sering diingatkan beliau untuk ke perpus dan baca buku, wah saya sih makin semangat. Saya berterima kasih kepada beliau, karena hobby baca saya hingga kini masih tak tergantikan dg hobby yg lain 😅

        Like

      4. “Yakin ga mau abang masakin? Ini spesial untuk seorang penyair.” hahahah

        Heheheh. Karakter orang batak memang begitu, keras dan tegas. Kadang terkesan kasar ‘aku kau’, tapi memang begitu lah. Sedikit bicara juga sih. Tapi seru juga.

        “Biar ga apa kali, ku suruh kau baca buku ni, biar tau kau kalau baca buku tu buat kau pintar. Jangan malas kau ya. Bodoh nanti kau. Mau kau bodoh?” hahahahah. Gitu mba ai kalau orang medan ngomong. 😂

        Just info, sebenarnya Medan itu bukan identik dengan suku batak tapi melayu. Kerajaan di medan zaman dulu adalah kerajaan melayu deli. Tapi karena suku batak dari tapanuli (kabupaten di luar kota medan, tapi masih dalam provinsi sumatera utara) lebih dominan di medan maka jadilah medan itu terkenal dengan suku bataknya.

        Liked by 1 person

      5. “Kalau Abang maksa, aku mau deh!” Eh tapi, yang Abang masakin, pernah masakin juga buat Saripah?” “Bukan Saripah, tapi Sarifah!”
        “Ciye ada yang cemburu.” 😜

        Terima kasih utk infonya kak, seneng kalau dapat info-info seperti ini. Coba kalau bisa belajar dan kenal dari para bloggers di seluruh Indonesia, bakalan makin seru

        Iya maaf kak, kalau Medan keingatnya dg suku Batak. Pantesan di bukunya ini hanya sesekali Henry keluar logat bataknya, tapi yg seringnya Melayu. Oh ternyata identik dg Melayu, jadi pengen jalan-jalan ke provinsi Sumut ketemu kak Wi 😂
        Terima kasih utk infonya kak 😊

        Like

      6. “Ah, siapa pun namanya mau saripah sarifah ga penting. Kalau abang pernah masakin buat dia, aku ga jadi deh makan sama abang. ” wakwaaaaw. 😂

        Iya kan mba. Makin banyak info makin banyak tau.

        ga ada yang salah kok mba, jadi ga ada yang perlu dimaafin. Hehehe. Memang begitu sekarang. Kalau orang ingat atau baca medan pasti langsung ke suku bataknya. Ya karena memang mereka banyak tinggal di medan.
        Ada pergeseran budaya. Sebenarnya identik dengan melayu jika merujuk pada sejarah, tapi sekarang udah berubah. 😂😂😂😂

        Ayok mba ai, ke medan. Jalan-jalan ke mall. Hahahha. Karena di medan yang ada Mall. Kalau wisata alamnya di luar medan. Sekitar dua atau tiga jam dari medan. Jauh juga. Tapi untuk kuliner ada banyak. Ayok mba ai gunakan kapsul ILY. Hahahah

        Liked by 1 person

      7. “Tak lah, Abang buatkan menu special ini hanya untuk sang penyair seorang.” 😂😂

        Betul kak 👍
        Iya, mungkin ada pergeseran budaya 😂😂

        Kak, aku butuh pikniknya wisata alam, macam berkunjung ke danau toba, Pulau samosir gitu 😁
        Plus mencicipi kuliner. Taunya cuma duren Medan yg enak banget, bika ambon, sama meranti. Belum ke Medan tapi baru mencicipi makanan tersebut. Pengen kulineran. Mesti pinjem kapsul ILY milik Tuan muda Ali. Entar malah Ali, Raib, sama Seli kepengen ikutan kesana 😄

        Like

      8. Duren medan enak banget ya, mba ai. Ucok durian, yang terkenal. Saya malah ga pernah ngerasa. Karena ga suka. Hahahah.
        Bika ambon namanya, padahal dari medan ya kan. 😂
        Kalau untuk kulineran di medan ga bakal kecewa. Enak-enak. 😂 tapi kalau wisata alamnya saya mah jarang berkunjung. 😁
        Ayo mba pinjem kapsul ILY biar saya ajak jalan2 untuk kiluneran. 😀

        Liked by 1 person

      9. Iya kak, itu ennaaaak banget kak! 👍
        Yaaaa gak suka buah terenak sedunia 😂😂
        Unik ya, namanya bika ambon, makanan dari Medan. 😂

        Wah ngeces kepengan nyobain kuliner Medan. Biar balance kak, mari wisata alam dan wisata kulineran bersama ❤️😄
        Ayo kak, kita pinjem kapsul ILY biar bisa bertemu dan kulineran kita 😄

        Like

      10. Enak banget ya durian. Hahahah. Tapi sayangnya saya kebalikannya. 😁

        Iya kan, seharusnya bika medan. Hahaha. Memang orang Indonesia ini agak unik.

        Yok langsung pinjem ILY. Ga apa-apa Si biang kerok, seli dan raib ikut biar tambah seru petualangan kita. Mereka suka makan bakso kan. Saya akan bawa ke bakso yang enak di Medan. Bakso Amat. 😂

        Liked by 1 person

      11. Iya kak, enak banget, tapi makannya harus direm karena kolesterolnya tinggi 😂
        Namanya juga selera boleh berbeda, tidak harus sama, tak apa tak suka, kan ada saya yg suka 😊

        Logikanya harusnya gitu kak, kan makanan khas Medan, harusnya bika Medan 😂 unik banget kak 😅

        Yok ah, tancap gas sekarang pake ILY bawa pasukan biar seru kalau ada si biang kerok, Raib, dan Seli. Kabar baiknya, saya pecinta bakso, jadi kita bakalan kompak makan bakso 😎
        Biar mereka tau, gak melulu makan bakso di kantin sekolah, sekali-kali nyoba bakso di Medan. Wuih Bakso Amat, sepertinya menarik nih kak Wi, bawa kita kesana yak! 😆😂

        Liked by 1 person

      12. kalau saya dikasi duren bakal saya kasih ke mba ai seikhlas ikhlasnya. 😂

        Bener tu biar ga cuma makan bakso di kantin sekolah terus mereka, tuan muda ali, seli dan raib. 😁 sesekali makan bakso agak jauhan dikit. Biar tau rasanya lebih nikmat dari bubur lengket. Hahahahah

        Liked by 1 person

      13. Alhamdulillah rezeki, akan saya terima dengan seikhlas-ikhlasnya kak Wi 😄😄

        Iya 😄 Gak tega liat tuan Muda Ali, Raib sama Seli jajanannya hanya bakso di kantin. Gak ada yg lain apa yak? 😩
        Yuk ah kita ajak mereka wiskul makan jauh. Habisnya sekalinya mereka makan jauh dikasihnya bubur lengket. Kalau jalan sama kita wiskulnya bervariasi ya kak Wi 😄😄

        Liked by 1 person

      14. Iya kak, seneng banget dapat referensi buku yang aku banget 💙💙
        Udahan baca aja masih teringat yg kocak-kocak, yg sedihnya, sampai yg harusnya romantis tapi gak romantis karena kebanyakan muter! Hahaha
        Bakalan gak bisa move on dari buku ini 😁

        Liked by 1 person

      15. Saya waktu baca bab awal kurang tertarik. Ga sesuai harapan, tapi tetap aja baca. Eh, ternyata…. Diluar perkiraan. Suka banget. ❤❤
        Walau ada beberapa bagian yang miss, misal, cara berteman mereka karena bukan muhrim menurut saya agak berlebihan. Ekspektasi awal, saya pikir Henry itu mirip2 Fahri AAC ternyata nggak. Its ok lah. Kekurangan novel ini masih bisa tertutupi dengan baik, sampai2 gagal move on sama cerita kocak mereka 👍👍👍😁

        Liked by 1 person

      16. Saya sejujurnya gak ada ekspektasi apapun, karena baru baca salah satu buku dari penulisnya. Cuma nurut aja referensi kak Wi ❤️❤️
        Bacanya ya mengalir sambil mikir, barulah memasuki bab ditepi laut merah, ada ketertarikan lanjut baca, tapi gak nyesel baca bukunya hehe malahan suka.
        Setuju kak, kalau cara berteman bukan muhrim, saya cukup terganggu. Tapi menikmati kekocakan mereka, itu jadi hiburan tersendiri 😄😄👍👍

        Liked by 1 person

      17. Di tepi laut merah. Keren abis. Baper. Seru. Waktu baca kisah hdp henry saya sampai mau mewek. Hahahah. Super baper. 😂

        Yap benar. Kekocakan mereka sampai ikutan ketawa. 😁

        ntar kita cari novel lain yang bisa buat gagal move on. 😀

        Liked by 1 person

      18. Super baper 😂😂😂
        Baca kisah hidup Henry bikin sesak dada, sedih.

        Iya, berasa lagi lihat mereka depan mata, dan cuma bisa ketawa saking kocak, gak garing 😁

        Asik 😁
        Tahun 2018 ini, buat saya buku-buku yang bikin gagal move on:
        Serial bumi sampe rela baca ulang dari buku pertama 😄
        Terus ditambah Bait-Bait Multazam
        What the next? 😃

        Liked by 1 person

Leave a comment